Smoker menduga bahwa orang berinisial CC dibalik keanehan yang terjadi
di Punk Hazard. Nama asli CC adalah Caesar Clown, dulu dia adalah
ilmuwan pemerintah patner penelitian dari Dr. Vegapunk. Namun karena
kebiasaan Caesar yang menggunakan manusia sebagai bahan percobaan.
Vegapunk sering bersitegang dengan Caesar. Episode ini menceritakan
siapa Caesar Clown dan apa yang melatarbelakangi pulau Punk Hazard
tercipta sedemikian rupa menjadi dua pulau dengan sisi terbakar dan
bersalju.
Minggu, 31 Maret 2013
One Piece Chapter 703 - Waiting Room
Setelah mengetahui bahwa buah setan saudaranya sedang dijadikan hadiah di colosseum, Luffy bertekad untuk memenangkan turnamen dan mengklaim buah setan tersebut untuk mencegah orang lain mengambilnya.
Sementara itu, Zoro masih mengejar pencuri yang mengambil pedangnya dan Sanji berhasil menyusulnya hanya untuk terganggu oleh seorang penari bernama Violet yang meminta Sanji agar menyembunyikan dirinya dari polisi karena dia menikam kekasihnya yang berselingkuh. Sanji, yang langsung jatuh cinta mengatakan semuanya baik-baik saja karena dia tidak pernah mengatakan tidak kepada seorang wanita yang sedang menangis.
Lega, Violet meminta Sanji untuk melindungi dirinya sampai dia ke kota berikutnya karena ada seorang laki-laki di sana yang Violet ingin bunuh. Luffy dan Franky mencapai colosseum, di mana Franky menyarankan Luffy untuk mendaftar dengan nama palsu "Lucy", sehingga tidak ada yang akan mengenalinya.
Di ruang tunggu, beberapa kontestan besar memandang Luffy dengan geli, sementara salah satu dari mereka melihat penampilan Luffy sebagai penghinaan sehingga menyerangnya, tapi Luffy membalas dengan melakukan bantingan bahu, menghancurkan lantai. Para kontestan lain menjadi terkejut dan tidak dapat berkata apa-apa lagi ketika Luffy menyapa mereka.
ONE PIECE CHAPTER 703 : DIRECT DOWNLOAD
NARUTO CHAPTER 625 : DIRECT DOWNLOAD
BLEACH CHAPTER 531 : DIRECT DOWNLOAD
FAIRY TAIL CHAPTER 325 : DIRECT DOWNLOAD
Rabu, 27 Maret 2013
Arti Dan Sejarah Dari Cosplay Jepang
Bagi
Anda yang maniak bergaya harajuku dan maniak terhadap komik asal
Jepang, pasti Anda sudah sangat sering melihat dandanan ala Cosplay.
Cosplay sendiri sangat diminati di Jepang dan berkembang hingga keluar
Jepang termasuk Indonesia. Di Indonesia sendiri, para penggemar Cosplay
dan dandanan ala Harajuku sangat banyak mulai dari anak kecil hingga
dewasa. Namun, apakah kalian tau arti dan sejarah dari Cosplay di
Jepang?? Mari kita baca penjelasan dibawah ini :
Cosplay Apa Sih?
Semua
sudah tahu istilah Cosplay kan? Apa sih Cosplay itu? Hm.. tenang saja
tidak berbau P***o kok. Sebenarnya, Cosplay adalah istilah bagi orang
yang hobi berkostum ala karakter dalam film animasi, komik (manga)
maupun video games. Berasal dari gabungan dua kata dalam bahasa Inggris
Costum and Play. Pelakunya biasa disebut Cosplayer. Sebenarnya sih,
cosplay bersifat universial, tidak meski melulu karakter dari Jepang.
Cuman yang paling populer di Indonesia ya Cosplayer Jepang. Penyebabnya
bervariasi, bisa karena dominasi komik (manga) yang kebanyakan
didominasi oleh komik Jepang. Bagi penggemar film kartun, Naruto, One
Piece dan Bleach adalah alasan utama. Bagi yang gemar bermain musik
apakah ada? Oh tentu saja, musik Jepang pun juga tidak kalah bagusnya
dengan musik dari negeri Barat.
Jika
musik Barat kebanyakan adalah classic atau Rock, musik Jepang mempunyai
ciri khas sendiri dengan ritme dan Chord scale yang unik. Contohnya
saja JRock yang bisa dibilang band unik. Kembali lagi ke soal Cosplay.
Sebenarnya banyak juga Cosplay Barat, namun menurut saya kurang cantik
bagus dan sedap dipandang mata. Cosplay Jepang entah kenapa kok
kebanyakan hasilnya sangat memuaskan bahkan mendekati kemiripan toko
asli dalam manga ataupun film kartun. Mungkin karena si pembuat
manga/film kartun itu menggambarkan wajah orang Jepang, jadinya kalo
orang jepang yang meniru pasti cocok Bahkan ada seorang wanita Jepang
yang memang bekerja sebagai Cosplayer dan pendesain kostum-kostum
Cosplay sekaligus modelnya.
Sejarah Cosplay
Sejak
paruh kedua tahun 1960-an, penggemar cerita dan film fiksi ilmiah di
Amerika Serikat sering mengadakan konfeksi fiksi ilmiah. Peserta
konvensi mengenakan kostum seperti yang yang dikenakan tokoh-tokoh film
fiksi ilmiah seperti Star Trek. Budaya Amerika Serikat sejak dulu
mengenal bentuk-bentuk pesta topeng (masquerade) seperti dalam perayaan
Halloween dan Paskah.
Tradisi
penyelenggaraan konvensi fiksi ilmiah sampai ke Jepang pada dekade
1970-an dalam bentuk acara peragaan kostum (costume show). Di Jepang,
peragaan “cosplay” pertama kali dilangsungkan tahun 1978 di Ashinoko,
Prefektur Kanagawa dalam bentuk pesta topeng konvensi fiksi ilmiah Nihon
SF Taikai ke-17. Kritikus fiksi ilmiah Mari Kotani menghadiri konvensi
dengan mengenakan kostum seperti tokoh dalam gambar sampul cerita A
Fighting Man of Mars karya Edgar Rice Burroughs. Tidak hanya Mari Kotani
menghadiri Nihon SF Taikai sambil ber-cosplay. Direktur perusahaan
animasi Gainax, Yasuhiro Takeda memakai kostum tokoh Star Wars 2.
Pada
waktu itu, peserta konvensi menyangka Mari Kotani mengenakan kostum
tokoh manga Triton of the Sea karya Osamu Tezuka. Kotani sendiri tidak
berusaha keras membantahnya, sehingga media massa sering menulis kostum
Triton of the Sea sebagai kostum cosplay pertama yang dikenakan di
Jepang. Selanjutnya, kontes cosplay dijadikan acara tetap sejak Nihon SF
Taikai ke-19 tahun 1980. Peserta mengenakan kostum Superman, Atom Boy,
serta tokoh dalam Toki o Kakeru Shoujo dan film Virus. Selain di
Comic Market, acara cosplay menjadi semakin sering diadakan dalam acara
pameran d?jinshi dan pertemuan penggemar fiksi ilmiah di Jepang.
Majalah
anime di Jepang sedikit demi sedikit mulai memuat berita tentang acara
cosplay di pameran dan penjualan terbitan doujinshi. Liputan
besar-besaran pertama kali dilakukan majalah Fanroad edisi perdana bulan
Agustus 1980. Edisi tersebut memuat berita khusus tentang munculnya
kelompok anak muda yang disebut “Tominoko-zoku” ber-cosplay di kawasan
Harajuku dengan mengenakan kostum baju bergerak Gundam. Kelompok
“Tominoko-zoku” dikabarkan muncul sebagai tandingan bagi Takenoko-zoku
(kelompok anak muda berpakaian aneh yang waktu itu meramaikan kawasan
Harajuku). Istilah “Tominoko-zoku” diambil dari nama sutradara film
animasi Gundam, Yoshiyuki Tomino, dan sekaligus merupakan parodi dari
istilah Takenoko-zoku. Foto peserta cosplay yang menari-nari sambil
mengenakan kostum robot Gundam juga ikut dimuat. Walaupun sebenarnya
artikel tentang Tominoko-zoku hanya dimaksudkan untuk mencari sensasi,
artikel tersebut berhasil menjadikan “cosplay” sebagai istilah umum di
kalangan penggemar anime.
Sebelum
istilah cosplay digunakan oleh media massa elektronik, asisten penyiar
Minky Yasu sudah sering melakukan cosplay. Kostum tokoh Minky Momo
sering dikenakan Minky Yasu dalam acara temu darat mami no RADI-karu
communication yang disiarkan antara lain oleh Radio T?kai sejak tahun
1984. Selanjutnya, acara radio yang sama mulai mengadakan kontes
cosplay. Dari tahun 1989 hingga 1995, di tv asahi ditayangkan ranking
kostum cosplay yang sedang populer dalam acara Hanakin Data Land.
Sekitar
tahun 1985, hobi cosplay semakin meluas di Jepang karena cosplay telah
menjadi sesuatu hal yang mudah dilakukan. Pada waktu itu kebetulan tokoh
Kapten Tsubasa sedang populer, dan hanya dengan kaus T-shirt pemain
bola Kapten Tsubasa, orang sudah bisa “ber-cosplay“. Kegiatan cosplay
dikabarkan mulai menjadi kegiatan berkelompok sejak tahun 1986. Sejak
itu pula mulai bermunculan fotografer amatir (disebut kamera-koz?) yang
senang memotret kegiatan cosplay.
Begitulah
kira-kira arti dan sejarah cosplay dari beberapa artikel yang saya baca
dimajalah. Sampai sini dulu deh artikel saya kali ini. Semoga artikel
saya ini bisa bermanfaat bagi para pembaca sekalian. Saya mohon maaf
kalau ada kesalahan dalam penulisan kata.
TERIMA KASIH
Sumber :
http://entertainmentgeek-jimmy.blogspot.com/2012/01/arti-dan-sejarah-dari-cosplay-jepang.html
Tinjauan Pustaka - Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pengungkapan Intellectual Capital Pada Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar Di Bursa Efek indonesia
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penelitian Terdahulu
Penelitian Goh dan Lim (2004) bertujuan untuk menemukan
berapa banyak informasi tentang intellectual
capital yang terdiri dari internal
capital, external capital, dan employee competence, yang diungkapkan di
dalam laporan tahunan perusahaan-perusahaan di Malaysia. Penelitian Goh dan Lim
(2004) menggunakan content
analysis yang dilakukan terhadap laporan tahunan periode 2001 dari 20
perusahaan yang memiliki laba tertinggi di bursa efek Malaysia. Hasil penelitian
Goh dan Lim (2004) menunjukkan external
capital yang paling banyak diungkapkan.
Review penelitian berikutnya
adalah Abdolmohammadi (2005) yang meneliti hubungan antara kapitalisasi pasar
dengan intellectual capital, book
value dan ROA pada perusahaan di USA tahun 1990 dan 2001 dengan menggunakan
model regresi. Abdolmohammadi (2005) membuktikan bahwa terdapat
pengaruh jumlah pengungkapan komponen intellectual
capital dalam laporan tahunan terhadap nilai kapitalisasi pasar perusahaan.
Artinya, perusahaan yang mengungkapkan lebih banyak komponen intellectual capital dalam laporan
tahunannya cenderung memiliki nilai kapitalisasi pasar yang lebih tinggi.
Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Bukh et al. (2005) tentang pengungkapan
informasi intellectual capital dalam
prospektus IPO (initial
public offering) dari perusahaan-peruhahaan di Denmark. Lebih
lanjut, penelitian Bukh et al. (2005)
juga melihat bagaimana perubahan pengungkapan sukarela (voluntary disclosure)
tentang intellectual capital selama
periode 1999 sampai 2001, dan untuk menganalisis faktor-faktor apakah yang
dapat menjelaskan jumlah pengungkapan di dalam prospektus. Hasil penelitian
Bukh et al. (2005) adalah terjadi
peningkatan pengungkapan intellectual
capital setiap tahunnya dalam prospektus IPO di Denmark dengan jenis
industri dan konsentrasi kepemilikan sebagai faktor-faktor yang mempengaruhi
secara signifikan, sedangkan ukuran dan umur perusahaan tidak berpengaruh
signifikan.
Penelitian
berikutnya, yaitu White et al.
(2007) yang menginvestigasi
faktor-faktor pemicu potensial atas pengungkapan intellectual capital pada perusahaan publik sektor bioteknologi di
Australia tahun 2005. Tujuan penelitian White et al. (2007) adalah adalah untuk menginvestigasi luasnya
pengungkapan sukarela tentang intellectual
capital yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan bioteknologi. Hal ini
dilakukan dalam konteks teori agensi (Jensen dan Meckling, 1976) dengan
menggunakan variabal-variabel independen yang meliputi ukuran
perusahaan, konsentrasi kepemilikan, komisaris independen, umur perusahaan dan
tingkat leverage. Hasil penelitian White et al. (2007), hanya konsentrasi kepemilikan yang tidak berpengaruh
signifikan dengan pengungkapan intellectual
capital.
Review penelitian selanjutnya, yaitu Li et al. (2008) yang melakukan penelitian mengenai pengungkapan
informasi intellectual capital dalam
laporan tahunan dari perusahaan-perusahaan yang terdaftar di bursa efek Inggris
untuk tahun 2004 dan 2005. Hasil penelitian Li et al. (2008) menunjukkan bahwa hanya role duality yang tidak mempengaruhi pengungkapan intellectual capital. Variabel-variabel
lain seperti komposisi dewan, struktur kepemilikan, mekanisme audit internal, length of listing, profitabilitas dan
ukuran berpengaruh secara signifikan.
Selain temuan-temuan di atas, penelitian tentang intellectual capital di Indonesia mulai
berkembang sejalan dengan kebutuhan perusahaan dalam meningkatkan pemberdayaan intangible
asset sebagai salah satu faktor peningkat daya saing. Penelitian Sawarjuwono
dan Kadir (2003) yang bersifat library research
membahas tentang perlakuan, pengukuran, dan pelaporan intellectual capital. Review
penelitian yang kedua, adalah Purnomosidhi (2006) yang bertujuan untuk memeriksa
pengaruh karakteristik perusahaan terhadap pengungkapan intellectual capital. Hasil penelitian Purnomosidhi (2006) menunjukkan
bahwa kinerja intellectual capital
berhubungan signifikan terhadap pengungkapan intellectual capital, dengan metode pengumpulan data content analysis.
Pada penelitian berikutnya, Kuryanto dan Syafruddin
(2007) menyebutkan bahwa intellectual
capital tidak berpengaruh pada kinerja perusahaan. Obyek penelitian
Kuryanto dan Syafruddin (2007) adalah perusahaan di Indonesia yang tidak
dimiliki oleh pihak asing pada tahun 2003 sampai 2005. Regresi dan Partial Least Square (PLS) merupakan
alat analisis yang digunakan.
Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Ulum dkk. (2007),
di mana intellectual capital menjadi
dasar penilaian kinerja karyawan, serta struktur modal pada perusahaan
perbankan di Indonesia pada tahun 2006. Alat analisis yang digunakan adalah Partial
Least Square (PLS). Hasil penelitian Ulum dkk. (2007), menunjukkan bahwa intellectual
capital berpengaruh terhadap kinerja keuangan perusahaan masa kini maupun
kinerja keuangan perusahaan di masa datang.
Review penelitian di Indonesia yang terakhir, adalah penelitian
yang dilakukan Suhardjanto dan Wardhani (2010) dengan tujuan untuk meneliti tingkat intellectual
capital disclosure dalam laporan tahunan perusahaan-perusahaan yang
terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI). Penelitian Suhardjanto dan
Wardhani (2010) menguji hubungan antara intellectual
capital disclosure sebagai variabel dependen dengan karakteristik
perusahaan (ukuran, profitabilitas, leverage, panjang listing
pada Bursa Efek Indonesia dan tata kelola perusahaan) sebagai variabel independen.
Analisis statistik menunjukkan bahwa ukuran perusahaan dan profitabilitas
merupakan prediktor bagi tingkat intellectual capital disclosure. Tabel
2.1 di bawah ini menunjukkan ringkasan penelitian-penelitian terdahulu tentang intellectual capital.
TABEL 2.1
Penelitian-Penelitian Empiris Tentang Intellectual
Capital
Penelitian
|
Variabel Dependen
|
Variabel Independen
|
Obyek Penelitian
|
Alat Analisis
|
Goh
dan Lim (2004)
“Disclosing
Intellectual Capital in Company Annual Reports”
|
Pengungkapan
modal
intelektual (ICD)
|
Internal capital, external capital, dan employee
competence
|
20
perusahaan publik dengan laba terbesar di Malaysia tahun 2001
|
Content
Analysis
|
Abdolmohammadi
(2005)
“Intellectual
Capital and Market Capitalization”
|
Market
Capitalization
|
ICD,
Book Value, dan Return on Assets (ROA)
|
Perusahaan
di
USA tahun
1990 dan 2000
|
Regresi
|
Bukh
et al. (2005)
“Disclosure
of Information on Intellectual Capital in Danish Initial Public Offerings
(IPO) Prospectuses ”
|
Pengungkapan
modal intelektual (ICD)
|
Jenis industri, ownership, size dan
age
|
Prospektus IPO
dari perusahaan di Denmark tahun 1999 sampai dengan 2001
|
Content Analysis dan Statistical
Analysis
|
Lanjutan tabel 2.1 dari
halaman 11
Penelitian
|
Variabel Dependen
|
Variabel Independen
|
Obyek Penelitian
|
Alat Analisis
|
White
et al. (2007)
”Drivers
of Voluntary Intellectual Capital Disclosure in Listed Biotechnology
Companies”
|
Pengungkapan
modal intelektual (ICD)
|
Size, Ownership,
Board independence, Age of firm, dan
Leverage
|
Perusahaan
Bioteknologi di
Australia tahun 2005
|
Content Analysis dan Regresi
|
Li et al. (2008)
“Intellectual
Capital Disclosure and Corporate Governance Structure in UK Firms”
|
Pengungkapan
modal
intelektual (ICD)
|
Corporate Governance, Length of listing, Profitabitly dan Size
|
Perusahaan-
yang terdaftar di bursa efek Inggris tahun 2004 dan 2005
|
Content Analysis dan Regresi
|
Sawarjuwono dan Kadir (2003)
“Intellectual Capital: Perlakuan, Pengukuran dan
Pelaporan”
|
Direct Intellectual
Capital Methods (DIC) dan Market
Capitalization Methods (MCM)
|
Library Research
|
||
Purnomosidhi
(2006)
”Pengungkapan
Suka Rela Modal Intelektual Pada Perusahaan Publik di BEJ”
|
Pengungkapan
modal
intelektual (ICD)
|
Size, Leverage, dan kinerja intellectual
capital
|
Perusahaan
publik di BEJ tahun 2001 sampai dengan tahun 2003
|
Content
Analysis dan Regresi
|
Kuryanto
dan Syafruddin (2007)
“Pengaruh
Modal Intelektual terhadap Kinerja Perusahaan”
|
Return on Equity, Earning per share, dan Annual Stock Return.
|
Value Added Capital Employed (VACA), Human Capital (VAHU),
dan Structural Capital (STVA)
|
Perusahaan di BEI, tidak dimiliki pihak asing tahun
2003 sampai 2005
|
Regresi dan
Partial
Least
Square.
|
Ulum
dkk. (2007)
“Intellectual
Capital dan
Kinerja Keuangan Perusahaan; Suatu Analisis dengan Pendekatan PLS”
|
Return on total assets (ROA)
|
Value Added Capital Employed (VACA), Human Capital (VAHU),
dan
Structural Capital (STVA)
|
Perbankan
di
Indonesia sampai
dengan tahun 2006 dan melaporkan posisi keuangan
kepada BI
|
Partial
Least Square
|
Suhardjanto
dan Wardhani (2010)
“Praktik Intellectual
Capital Disclosure Perusahaan yang Terdaftar di BEI”
|
Pengungkapan
modal intelektual (ICD)
|
Tata
Kelola Perusahaan, Size, Profitability, Leverage, dan Length of
Listing on BEI
|
Perusahaan
BEI tahun 2007 minimal terdaftar 2 tahun berturut-turut
|
Content
Analysis dan Regresi
|
Sumber: Diolah dari
beberapa penelitian (2012).
2.2 Landasan Teori
2.2.1 Agency Theory
Jensen dan
Meckling (1976) mengemukakan bahwa teori keagenan membuat suatu model
kontraktual antara dua atau lebih orang (pihak), di mana salah satu pihak
disebut agen dan pihak lain disebut prinsipal. Perusahaan
mempunyai banyak kontrak, misalnya kontrak kerja antara perusahaan dengan para
manajernya dan kontrak pinjaman antara perusahaan dengan krediturnya. Untuk
itulah dalam teori agensi dikenal adanya kontrak kerja, yang mengatur proporsi
utilitas masing-masing pihak dengan tetap memperhitungkan kemanfaatan secara
keseluruhan. Kontrak kerja yang optimal adalah kontrak yang seimbang antara
prinsipal dan agen yang secara matematis memperlihatkan pelaksanaan kewajiban
yang optimal oleh agen dan pemberian imbalan khusus oleh prinsipal kepada agen.
Prinsipal
didefinisikan sebagai pihak yang memberikan mandat kepada agen, untuk dapat
bertindak atas nama prinsipal, sedangkan agen merupakan pihak yang diberi amanat
oleh prinsipal untuk menjalankan perusahaan dan berkewajiban untuk
mempertanggungjawabkan amanat tersebut. Satu elemen kunci dari teori keagenan adalah
bahwa prinsipal dan agen mempunyai perbedaan preferensi dan tujuan. Teori
agensi mengasumsikan bahwa semua individu bertindak atas kepentingan mereka (Jensen
dan Meckling, 1976).
Pada teori
agensi, information gap yang terjadi pada berbagai perusahaan
dikarenakan pihak manajer setiap hari berinteraksi langsung dengan kegiatan
perusahaan, sehingga pihak manajer sangat mengetahui kondisi dalam perusahaan
dengan demikian pihak manajer mempunyai informasi yang sangat lengkap tentang
perusahaan yang dikelolanya. Pemegang saham hanya mengandalkan laporan yang
diberikan oleh pihak manajemen, karena pemegang saham tidak berinteraksi secara
langsung pada kegiatan perusahaan sehingga pemegang saham hanya memiliki
sebagian atau lebih sedikit informasi dibanding manajer perusahaan (Jensen dan
Meckling, 1976). Oleh karena itu menurut Suhardjanto dan Wardhani (2010),
pengungkapan merupakan mekanisme untuk mengontrol kinerja manajer. Sebagai
konsekuensinya, manajer didorong untuk mengungkapkan voluntary information
seperti pengungkapan intellectual
capital.
Adanya agency
problem diatas, menimbulkan biaya keagenan (agency cost) yang menurut
Jensen dan Meckling (1976) terdiri dari:
a. Monitoring cost adalah biaya yang timbul dan
ditanggung oleh prinsipal untuk memonitor perilaku agen, yaitu untuk mengukur,
mengamati dan mengontrol perilaku agen. Contohnya adalah biaya audit dan biaya
untuk menetapkan rencana kompensasi manajer, pembatasan anggaran dan
aturan-aturan operasi.
b. Bonding cost adalah biaya
yang ditanggung oleh agen untuk menetapkan dan mematuhi mekanisme yang menjamin
bahwa agen akan bertindak untuk kepentingan prinsipal. Contohnya adalah biaya yang
dikeluarkan oleh manajer untuk menyediakan laporan keuangan kepada pemegang
saham.
c. Residual loss, timbul dari
kenyataan bahwa tindakan agen kadangkala berbeda dari tindakan yang
memaksimukan kepentingan prinsipal.
2.2.2 Stakeholder Theory
Freeman (1984) dalam
Donaldson dan Preston (1995), mendefinisikan stakeholder sebagai “setiap kelompok atau individu yang dapat
mempengaruhi atau dipengaruhi oleh pencapaian tujuan perusahaan.” Pada awalnya
yang dimaksud dengan stakeholder
mencakup para investor, para karyawan (employees),
para pemasok (suppliers) dan para pelanggan
(customers). Hubungan antara
perusahaan dengan karyawan dan pemasok pun berjalan satu arah, kaku dan
berorientasi jangka pendek. Hal itu menyebabkan setiap bagian perusahaan
mempunyai kepentingan, nilai dan tujuan yang berbeda-beda.
Pengakuan terhadap
adanya berbagai stakeholders di luar investor
yang dapat mempengaruhi efektivitas pencapaian tujuan perusahaan telah mengubah
dimensi tanggung jawab perusahaan dari tanggung jawab ekonomi semata-mata dalam
bentuk maksimasi laba untuk kemakmuran para investor menjadi tanggung jawab
kepada sejumlah stakeholders yang
lebih luas. Hal tersebut, mengharuskan perusahaan untuk berkolaborasi
dengan seluruh stakeholder-nya. Hubungan perusahaan dengan internal
stakeholders dibangun berdasarkan konsep saling bermanfaat yang dapat
membangun kerjasama untuk menciptakan kesinambungan usaha perusahaan, sedangkan
hubungan dengan stakeholder di luar perusahaan bukan hanya bersifat
transaksional dan jangka pendek namun lebih kepada hubungan yang bersifat
fungsional yang bertumpu pada kemitraan di mana perusahaan juga berusaha untuk
bersama-sama membangun kualitas kehidupan external stakeholders (Freeman, 1984) Donaldson dan Preston (1995).
Freeman (1984) dalam Donaldson dan Preston (1995) mengemukakan bahwa stakeholder
theory memelihara hubungan stakeholder yang mencakup semua bentuk
hubungan antara perusahaan dengan seluruh stakeholdernya. Berdasarkan
teori stakeholder, manajemen organisasi diharapkan untuk melakukan
aktivitas yang dianggap penting oleh stakeholder
dan melaporkan kembali aktivitas-aktivitas tersebut pada stakeholder. Stakeholders memiliki hak untuk tidak
menggunakan informasi tersebut, atau tidak dapat memainkan peran konstruktif
dalam kelangsungan hidup perusahaan. Selain itu, teori stakeholder mengasumsikan bahwa akuntabilitas organisasi tidak
hanya terbatas pada kinerja ekonomi atau keuangan saja sehingga perusahaan
perlu melakukan pengungkapan sukarela (voluntary)
tentang intellectual capital dan
informasi lainnya melebihi dari yang diharuskan (mandatory) oleh badan
yang berwenang.
2.2.3 Definisi Intellectual Capital
Menurut Purnomosidhi (2006), sampai sekarang belum ada
definisi intellectual capital yang
konklusif dan masih terjadi perdebatan di antara para pakar. Hal ini dikarenakan
intellectual capital merupakan konsep
yang masih membingungkan (enigmatic) dan relatif baru. Di samping itu, intellectual capital seringkali dianggap
sebagai nilai misterius (mysterious value) yang terletak di antara nilai
buku (book value) dan nilai pasar perusahaan.
Organisation
for Economic Cooperation and Development (OECD) (1999) dalam Purnomosidhi (2006) mendefinisikan intellectual capital sebagai nilai
ekonomik dari dua kategori intangibles assets perusahaan: (1) organisational (structural) capital; dan
(2) human capital. Structural
capital meliputi proprietary sofware system,
distribution networks, dan supply chains, sedangkan human capital
mencakup human resources baik dalam perusahaan maupun di luar
perusahaan, seperti customers dan suppliers.
Menurut
Bontis (1998), intellectual capital merupakan interaksi dari human
capital, customer capital,
dan structural capital. Williams (2001) berpendapat bahwa intellectual capital adalah informasi
dan pengetahuan yang diaplikasikan dalam pekerjaan untuk menciptakan nilai. Definisi ini menekankan pada kemampuan intellectual capital dalam menciptakan
nilai. Sementara itu, Astuti dan Sabeni (2005) mendefinisikan intellectual capital sebagai materi
intelektual yang meliputi pengetahuan, informasi, intellectual property, dan pengalaman yang dapat digunakan secara
bersama untuk menciptakan kekayaan. Ini adalah suatu kekayaan kolektif atau
seperangkat pengetahuan yang berdaya guna.
Kesimpulan yang
dapat dibuat dari berbagai definisi di atas adalah intellectual capital merupakan konsep yang dapat memberikan sumber daya
berbasis pengetahuan baru dan mendeskripsikan aktiva tak berwujud yang jika
digunakan secara optimal memungkinkan perusahaan untuk menjalankan strateginya dengan
efektif dan efisien. Dengan demikian, intellectual
capital adalah pengetahuan yang memberikan informasi mengenai nilai tak
berwujud perusahaan yang dapat mempengaruhi daya tahan dan keunggulan bersaing.
2.2.4 Komponen Intellectual Capital
Setelah mengetahui definisi intellectual capital, perlu memahami komponen-komponen intellectual capital. Sawarjuwono dan
Kadir (2003) menyatakan bahwa intellectual capital terdiri dari tiga elemen utama
yaitu:
1. Human
Capital (modal
manusia). Human capital merupakan lifeblood
dalam
intellectual capital. Di sinilah
sumber innovation dan improvement, tetapi merupakan komponen yang
sulit untuk diukur. Human capital juga merupakan tempat bersumbernya
pengetahuan yang sangat berguna, keterampilan, dan kompetensi dalam suatu
organisasi atau perusahaan. Human capital mencerminkan kemampuan kolektif perusahaan
untuk menghasilkan solusi terbaik berdasarkan pengetahuan yang dimiliki oleh
orang-orang yang ada dalam perusahaan tersebut. Human
capital akan
meningkat jika perusahaan mampu menggunakan pengetahuan yang dimiliki oleh karyawannya.
Brinker (2000) dalam Sawarjuwono dan Kadir (2003) memberikan beberapa
karakteristik yang dapat digolongkan dalam modal ini, yaitu training
programs, credential,
experience, competence, recruitment, mentoring, learning programs,
individual potential
and personality.
2. Structural
Capital atau
Organizational Capital (modal organisasi). Structural
capital merupakan
kemampuan organisasi atau perusahaan dalam memenuhi proses rutinitas perusahaan
dan strukturnya yang mendukung usaha karyawan untuk menghasilkan kinerja
intelektual yang optimal serta kinerja bisnis secara keseluruhan, misalnya: sistem
operasional perusahaan, proses manufakturing, budaya organisasi, filosofi
manajemen dan semua bentuk intellectual property yang dimiliki
perusahaan. Seorang individu dapat memiliki tingkat intelektualitas yang
tinggi, tetapi jika organisasi memiliki sistem dan prosedur yang buruk maka intellectual
capital tidak dapat
mencapai kinerja secara optimal dan potensi yang ada tidak dapat dimanfaatkan
secara maksimal.
3. Relational Capital atau Costumer Capital (modal
pelanggan). Elemen ini merupakan komponen intellectual
capital yang memberikan nilai secara nyata. Relational capital merupakan
hubungan yang harmonis atau association network yang dimiliki oleh perusahaan
dengan para mitranya, baik yang berasal dari para pemasok yang andal dan
berkualitas, berasal dari pelanggan yang loyal dan merasa puas akan pelayanan
perusahaan yang bersangkutan, berasal dari hubungan perusahaan dengan pemerintah
maupun dengan masyarakat sekitar. Relational capital dapat muncul dari
berbagai bagian di luar lingkungan perusahaan yang dapat menambah nilai bagi
perusahaan tersebut.
2.2.5
Pengungkapan Intellectual Capital
Dari
literatur-literatur yang berhasil dikumpulkan, kebanyakan para penulis membahas
tentang pengukuran intellectual capital.
Sedangkan bagaimana pelaporan intellectual
capital dibuat masih jarang dibahas. Seperti halnya dengan pengukuran intellectual capital, pelaporan aktiva
ini belum dibuatkan sebuah standar tertentu. Sawarjuwono dan Kadir (2003)
menyatakan penelitian terhadap pelaporan intellectual
capital ini juga dilakukan oleh Guthrie dan Petty (2000) yang melakukan
penelitian terhadap 20 perusahaan di Australia yang telah terdaftar pada bursa
efek. Hasil penelitian ini menunjukkan porsi pengungkapan setiap elemen intellectual capital, di mana 30%
indikator digunakan untuk mengungkapkan human capital, 30% organizational
capital (internal structure)
dan 40% customer capital (external structure). Di samping hal-hal di atas, riset Guthrie dan Petty
(2000) dalam Sawarjuwono dan Kadir (2003) menunjukkan bahwa:
1. Pengungkapan
intellectual capital lebih banyak
(95%) disajikan secara terpisah dan tidak ada yang disajikan dalam angka atau
kuantitatif. Hal ini mendukung pandangan yang selama ini kuat yaitu aktiva
tidak berwujud atau intellectual capital
sulit untuk dikuantifikasikan.
2. Pengungkapan
mengenai modal eksternal lebih banyak dilakukan oleh perusahaan. Tidak terdapat
pola tertentu dalam laporan-laporan tersebut. Hal-hal yang banyak diungkapkan
menyebar di antara ketiga elemen intellectual
capital.
3. Pelaporan
dan pengungkapan intellectual capital
dilakukan masih secara sebagian dan belum menyeluruh.
4. Secara
keseluruhan perusahaan menekankan bahwa intellectual
capital merupakan hal penting untuk menuju sukses dalam menghadapi
persaingan masa depan. Namun hal itu belum dapat diterjemahkan dalam suatu
pesan yang solid dan koheren dalam
laporan tahunan.
2.3 Kerangka
Pemikiran Teoritis
Penelitian ini dilakukan dalam rangka untuk menguji
secara empiris faktor-faktor penentu (determinan) motivasi perusahaan
mengungkapkan intellectual capital. Dengan tujuan membentuk dan
menguji model penelitian, digunakan dua teori dasar yaitu teori stakeholder dan teori agensi.
Teori stakeholder mengasumsikan
bahwa akuntabilitas organisasi tidak hanya terbatas pada kinerja ekonomi atau
keuangan saja sehingga perusahaan perlu melakukan pengungkapan sukarela (voluntary) tentang intellectual capital. Pengungkapan intellectual capital dapat meningkatkan daya guna laporan tahunan dalam
memprediksikan kinerja keuangan di masa mendatang. Faktor-faktor pendorong perusahaan
mengungkapkan intellectual capital antara lain ukuran perusahaan,
konsentrasi kepemilikan, komisaris independen, umur perusahaan, leverage
dan length of listing.
Berdasarkan teori agensi, terjadi asimetri informasi antara
prinsipal dengan agen karena agen terlibat secara langsung dalam kegiatan
perusahaan. Untuk mengendalikan kinerja agen, prinsipal mendorong
agen melakukan pengungkapan sukarela intellectual
capital. Semakin besar ukuran perusahaan, akan semakin banyak aktivitas
sehingga makin
tinggi tingkat pengungkapan. Keberadaan pemegang saham yang
tingkat kepemilikannya terhadap perusahaan tinggi dan keberadaan komisaris
independen dapat mengawasi serta mendorong
manajemen untuk melakukan
pengungkapan informasi yang lebih luas.
Teori agensi juga dapat menjelaskan pengaruh umur
perusahaan, leverage dan length of
listing terhadap pengungkapan sukarela intellectual
capital. Semakin panjang umur perusahaan, akan mengetahui kebutuhan
informasi perusahaan sehingga mengungkapan informasi lebih luas. Semakin
tinggi tingkat leverage perusahaan menunjukkan bahwa makin besar tingkat risiko keuangan
sehingga manajer ditekan untuk mengungkapkan lebih banyak informasi. Perusahaan yang umur listing-nya muda berupaya mendapatkan
kepercayaan investor dan tambahan modal dengan mengungkapkan banyak informasi
perusahaan. Hubungan
antara beberapa karakteristik perusahaan sebagai variabel independen dengan
pengungkapan intellectual capital sebagai
variabel dependen secara sistematis dapat digambarkan dalam kerangka teoritis di
bawah ini.
2.4
Pengembangan Hipotesis
2.4.1 Pengaruh Ukuran Perusahaan terhadap Pengungkapan
Sukarela
Intellectual
Capital
Semakin besar ukuran perusahaan, akan semakin banyak
aktivitas dan makin tinggi tingkat pengungkapan karena tingginya
tuntutan terhadap keterbukaan informasi dibanding perusahaan yang lebih kecil. Perusahaan besar mencoba mengurangi
asimetri informasi yang terjadi dengan mengungkapkan informasi yang lebih
banyak, termasuk mengungkapkan intellectual
capital. Biaya agensi timbul karena kepentingan yang bertentangan dari para
pemegang saham, manajer dan pemilik utang (Freedman dan Jaggi, 2005) dalam Suhardjanto
dan Wardhani (2010).
Hackstone dan Milne (1996) dalam Purnomosidhi (2006)
menyatakan ukuran perusahaan digunakan sebagai variabel independen dengan
asumsi bahwa perusahaan yang lebih besar melakukan aktivitas yang lebih banyak
dan biasanya memiliki banyak unit usaha, serta memiliki potensi penciptaan
nilai jangka panjang. Perusahaan besar
lebih sering diawasi oleh kelompok stakeholder
yang berkepentingan dengan bagaimana manajemen mengelola intellectual capital yang dimiliki, seperti pekerja, pelanggan dan
organisasi pekerja.
Penelitian White et al. (2007) menunjukkan adanya hubungan positif yang
signifikan antara ukuran perusahaan dengan pengungkapan intellectual capital. Hasil penelitian yang sama juga terdapat pada
penelitian Singh dan VanderZahn (unpublished)
dalam White et al. (2007) yang
meneliti adanya pengaruh ukuran perusahaan pada pengungkapan intellectual capital di perusahaan gas
dan minyak Australia. Di Indonesia, penelitian Suhardjanto dan Wardhani (2010)
juga menyebutkan bahwa ukuran perusahaan merupakan prediktor yang mempengaruhi
tingkat intellectual capital disclosure
karena perusahaan yang besar akan memberikan dampak sosial ekonomis yang juga
besar terhadap lingkungannya, sehingga lebih menjadi sorotan stakeholders. Oleh karena itu,
perusahaan dituntut untuk semakin banyak mengungkapkan informasi, termasuk informasi
tentang intellectual capital. Dengan
demikian, berdasarkan argumentasi yang dijelaskan di atas, dapat dibangun
hipotesis:
H1: Ukuran perusahaan
berpengaruh terhadap pengungkapan sukarela
intellectual capital.
2.4.2 Pengaruh Konsentrasi Kepemilikan terhadap
Pengungkapan Sukarela
Intellectual Capital
Struktur
kepemilikan saham menunjukkan bagaimana distribusi kekuasaan dan pengaruh
pemegang saham atas kegiatan operasional perusahaan. Salah satu karakteristik
struktur kepemilikan adalah kepemilikan terkonsentrasi. Kepemilikan saham
terkonsentrasi adalah suatu kondisi ketika sebagian besar saham dimiliki oleh
sebagian kecil individu atau kelompok sehingga individu atau kelompok tersebut
memiliki jumlah saham relatif dominan dibandingkan dengan pemegang saham
lainnya (Yuniasih dkk., 2011).
Teori
agensi telah menjadi landasan pemikiran dalam menjelaskan konsentrasi kepemilikan
saham. Karena
dengan semakin terkonsentrasinya kepemilikan perusahaan, maka pemegang saham
mayoritas akan semakin menguasai perusahaan dan semakin berpengaruh dalam
pengambilan keputusan. Pemegang saham yang berada pada posisi kuat tersebut,
akan memiliki akses informasi yang signifikan
sehingga dapat mengurangi masalah agensi. Dengan adanya pengawasan dan tekanan
dari pemegang saham mayoritas, maka akan mendorong agen untuk meningkatkan
praktik pengungkapan intellectual capital
(Cormier et al., 2005) dalam Li et al. (2008).
Penelitian
McKinnon dan Dalimunthe (1993) dalam White et al. (2007) menjelaskan bahwa
terdapat pengaruh yang signifikan antara struktur kepemilikan saham terhadap
pengungkapan laporan tahunan perusahaan di Australia. Li et al. (2008) juga telah berhasil membuktikan, terdapat pengaruh signifikan antara
konsentrasi kepemilikan dengan pengungkapan
intellectual capital. Penelitian
McKinnon dan Dalimunthe (1993) beserta Li et
al. (2008) tidak bisa
dibuktikan oleh penelitian White et al. (2007) yang menyatakan tidak ada hubungan antara praktik
pengungkapan intellectual capital
dengan konsentrasi kepemilikan. Hal ini mengindikasikan bahwa pemilik saham
mungkin tidak membutuhkan pelaporan pertanggungjawaban yang baik dari pihak
manajemen dan dewan komisaris. Berdasarkan
argumen di atas maka hipotesis kedua dalam penelitian ini adalah:
H2: Konsentrasi kepemilikan
berpengaruh terhadap pengungkapan sukarela
intellectual capital.
2.4.3 Pengaruh Komisaris Independen terhadap Pengungkapan
Sukarela
Intellectual Capital
Komisaris Independen adalah anggota dewan komisaris yang
tidak terafiliasi dengan direksi, anggota dewan komisaris lainnya dan pemegang
saham pengendali, serta bebas dari hubungan bisnis atau hubungan lainnya yang
dapat mempengaruhi kemampuannya untuk bertindak independen atau bertindak
semata-mata demi kepentingan perusahaan. Teori agensi mendasarkan hubungan antara pemegang saham dan manajer.
Perbedaan kepentingan menyebabkan terjadinya asimetri informasi antara pemilik
dan manajer perusahaan. Keberadaan komisaris independen menjadi penting, karena
di dalam praktik sering ditemukan transaksi yang mengandung benturan
kepentingan yang mengabaikan kepentingan pemegang saham publik (minoritas), serta
stakeholder lainnya (White et al., 2007).
Sebagai pihak yang independen dan netral dalam perusahaan,
diharapkan mampu menjembatani adanya asimetri informasi yang terjadi antara
pihak pemilik dengan pihak manajer dengan mendorong anggota dewan komisaris lain
untuk melakukan tugas pengawasan lebih baik lagi. Hal tersebut dilakukan agar
dapat melindungi seluruh pemangku kepentingan dari tindakan agen yang
menyimpang. Jika pengawasan telah dilakukan dengan efektif, maka pengelolaan
perusahaan akan dilakukan dengan baik pula, dan manajemen akan mengungkapkan
semua informasi yang ada, termasuk informasi tentang intellectual capital (White et
al., 2007).
Penelitian White et
al. (2007) dan Li et al. (2008) menyebutkan
bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara komisaris independen
dengan pengungkapan intellectual capital.
Sebaliknya, Suhardjanto dan Wardhani (2010) justru tidak menemukan adanya
pengaruh signifikan dari komisaris independen terhadap pengungkapan sukarela intellectual capital. Hal tersebut
dikarenakan peran dan fungsi komisaris independen belum optimal di Indonesia. Atas
dasar argumentasi ini, maka dapat dibuat hipotesis berikutnya:
H3: Komisaris Independen
berpengaruh terhadap pengungkapan sukarela
intellectual capital.
2.4.4 Pengaruh Umur Perusahaan terhadap Pengungkapan
Sukarela
Intellectual Capital
Umur perusahaan menunjukkan perusahaan tetap eksis, mampu
bersaing dan memanfaatkan peluang bisnis dalam suatu perekonomian. Dengan
mengetahui umur perusahaan, maka akan diketahui pula sejauh mana perusahaan
tersebut dapat survive (Yularto dan
Chariri, 2003) dalam Haryanto dan Aprilia (2009).
Umur perusahaan diperkirakan memiliki hubungan yang
positif terhadap kualitas pengungkapan informasi perusahaan. Semakin panjang
umur perusahaan akan memberikan pengungkapan informasi yang lebih luas,
termasuk pengungkapan intellectual
capital dibanding perusahaan lain yang umurnya lebih pendek. Alasan yang
mendasarinya terkait dengan teori agensi, di mana perusahaan yang memiliki
pengalaman lebih dalam pengungkapan laporan tahunan akan lebih mengetahui
kebutuhan informasi perusahaan yang dapat mengurangi asimetri informasi (Marwata,
2001) dalam Haryanto dan Aprilia (2009).
Penelitian Bukh et
al. (2005), tidak menemukan
adanya hubungan antara umur perusahaan dengan pengungkapan intellectual capital. Sebaliknya penelitian White et al. (2007), menjelaskan bahwa
terdapat hubungan positif signifikan antara umur perusahaan dengan pengungkapan
intellectual capital. Atas dasar
pernyataan di atas, maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut:
H4: Umur perusahaan
berpengaruh terhadap pengungkapan sukarela
intellectual capital.
2.4.5 Pengaruh Leverage terhadap Pengungkapan
Sukarela Intellectual Capital
Leverage merupakan pengukur besarnya aktiva yang dibiayai dengan
utang. Utang yang digunakan untuk membiayai aktiva berasal dari kreditor, bukan
dari pemegang saham ataupun investor. Teori agensi juga digunakan untuk menjelaskan hubungan antara leverage dengan
pengungkapan laporan tahunan perusahaan (Jensen dan Meckling, 1976).
Perusahaan yang memiliki proporsi utang yang tinggi dalam
struktur modalnya akan menanggung biaya keagenan yang lebih besar, dibandingkan
dengan perusahaan berproporsi utang kecil. Untuk mengurangi cost agency tersebut,
manajemen perusahaan dapat mengungkapkan lebih banyak informasi yang diharapkan
akan semakin meningkat seiring dengan semakin tingginya tingkat leverage.
Teori keagenan juga memprediksi bahwa perusahaan dengan rasio leverage yang
lebih tinggi akan mengungkapkan lebih banyak informasi, terutama informasi
tentang intellectual capital karena tingginya tingkat risiko keuangan yang dihadapi perusahaan (Jensen
dan Meckling, 1976).
Penelitian White et al. (2007) menyebutkan bahwa terdapat hubungan positif yang
signifikan antara leverage dengan pengungkapan intellectual capital. Namun, pada
penelitian Chow dan Wong-Boren (1987) dalam White et al. (2007) menunjukkan tidak ada
hubungan antara leverage dengan
pengungkapan intellectual capital
pada perusahaan di New Zealand. Sejalan dengan penelitian Chow dan Wong-Boren
(1987) dalam White et al.
(2007), Suhardjanto dan Wardhani (2010) juga menemukan bahwa leverage bukanlah prediktor yang baik
terhadap intellectual capital disclosure
karena perusahaan dengan tingkat leverage
tinggi mengurangi pengungkapan agar tidak menjadi sorotan debtholder. Maka berdasarkan argumentasi di atas, dapat dibangun hipotesis
sebagai berikut:
H5: Leverage
berpengaruh terhadap pengungkapan sukarela intellectual
capital.
2.4.6
Pengaruh Length of Listing terhadap Pengungkapan Sukarela Intellectual
Capital
Lamanya
periode perusahaan yang telah terdaftar pada pasar modal mungkin menjadi
relevan dalam menjelaskan variasi pengungkapan. Perusahaan yang umur listing-nya muda berupaya untuk
mendapatkan tambahan modal dibandingkan dengan perusahaan yang lebih lama listing. Caranya adalah dengan mengungkapkan
banyak informasi perusahaan termasuk pengungkapan
intellectual capital (Barnes dan Walker, 2006) dalam Li et al. (2008).
Sesuai dengan
teori agensi, semakin banyak informasi yang diungkapkan dapat menjembatani
asimetri informasi sehingga diharapkan akan makin tinggi tingkat kepercayaan
investor. Perusahaan
muda memiliki keinginan yang lebih besar untuk mengurangi skeptisme dan meningkatkan
kepercayaan investor (Haniffa dan Cooke, 2002) dalam Suhardjanto dan Wardhani (2010).
Penelitian
Li et al. (2008) menjelaskan bahwa
terdapat hubungan negatif yang signifikan antara listing age terhadap pengungkapan intellectual capital pada perusahaan di Inggris. Sebaliknya, Suhardjanto
dan Wardhani (2010) menyatakan
tidak ada pengaruh antara length of
listing on BEI dengan pengungkapan intellectual
capital. Atas
dasar argumentasi di atas, maka hipotesis terakhir adalah:
H6: Length of listing berpengaruh terhadap pengungkapan sukarela
intellectual
capital.
Langganan:
Postingan (Atom)