Minggu, 31 Maret 2013

One Piece Episode 589






Smoker menduga bahwa orang berinisial CC dibalik keanehan yang terjadi di Punk Hazard. Nama asli CC adalah Caesar Clown, dulu dia adalah ilmuwan pemerintah patner penelitian dari Dr. Vegapunk. Namun karena kebiasaan Caesar yang menggunakan manusia sebagai bahan percobaan. Vegapunk sering bersitegang dengan Caesar. Episode ini menceritakan siapa Caesar Clown dan apa yang melatarbelakangi pulau Punk Hazard tercipta sedemikian rupa menjadi dua pulau dengan sisi terbakar dan bersalju.


480p | 720p
password : oploverz


Sumber :
http://www.oploverz.net/2013/03/one-piece-episode-589-subtitle-indonesia.html

One Piece Chapter 703 - Waiting Room





Setelah mengetahui bahwa buah setan saudaranya sedang dijadikan hadiah di colosseum, Luffy bertekad untuk memenangkan turnamen dan mengklaim buah setan tersebut untuk mencegah orang lain mengambilnya.

Sementara itu, Zoro masih mengejar pencuri yang mengambil pedangnya dan Sanji berhasil menyusulnya hanya untuk terganggu oleh seorang penari bernama Violet yang meminta Sanji agar menyembunyikan dirinya dari polisi karena dia menikam kekasihnya yang berselingkuh. Sanji, yang langsung jatuh cinta mengatakan semuanya baik-baik saja  karena dia tidak pernah mengatakan tidak kepada seorang wanita yang sedang menangis.

Lega, Violet meminta Sanji untuk melindungi dirinya sampai dia ke kota berikutnya karena ada seorang laki-laki di sana yang Violet ingin bunuh. Luffy dan Franky mencapai colosseum, di mana Franky menyarankan Luffy untuk mendaftar dengan nama palsu "Lucy", sehingga tidak ada yang akan mengenalinya.

Di ruang tunggu, beberapa kontestan besar memandang Luffy dengan geli, sementara salah satu dari mereka melihat penampilan Luffy sebagai penghinaan sehingga menyerangnya, tapi Luffy membalas dengan melakukan bantingan bahu, menghancurkan lantai. Para kontestan lain menjadi terkejut dan tidak dapat berkata apa-apa lagi ketika Luffy menyapa mereka.


ONE PIECE CHAPTER 703 : DIRECT DOWNLOAD
NARUTO CHAPTER 625      : DIRECT DOWNLOAD
BLEACH CHAPTER 531      : DIRECT DOWNLOAD
FAIRY TAIL CHAPTER 325   : DIRECT DOWNLOAD

Rabu, 27 Maret 2013

Arti Dan Sejarah Dari Cosplay Jepang




Bagi Anda yang maniak bergaya harajuku dan maniak terhadap komik asal Jepang, pasti Anda sudah sangat sering melihat dandanan ala Cosplay. Cosplay sendiri sangat diminati di Jepang dan berkembang hingga keluar Jepang termasuk Indonesia. Di Indonesia sendiri, para penggemar Cosplay dan dandanan ala Harajuku sangat banyak mulai dari anak kecil hingga dewasa. Namun, apakah kalian tau arti dan sejarah dari Cosplay di Jepang?? Mari kita baca penjelasan dibawah ini :

Cosplay Apa Sih?
 
Semua sudah tahu istilah Cosplay kan? Apa sih Cosplay itu? Hm.. tenang saja tidak berbau P***o kok. Sebenarnya, Cosplay adalah istilah bagi orang yang hobi berkostum ala karakter dalam film animasi, komik (manga) maupun video games. Berasal dari gabungan dua kata dalam bahasa Inggris Costum and Play. Pelakunya biasa disebut Cosplayer. Sebenarnya sih, cosplay bersifat universial, tidak meski melulu karakter dari Jepang. Cuman yang paling populer di Indonesia ya Cosplayer Jepang. Penyebabnya bervariasi, bisa karena dominasi komik (manga) yang kebanyakan didominasi oleh komik Jepang. Bagi penggemar film kartun, Naruto, One Piece dan Bleach adalah alasan utama. Bagi yang gemar bermain musik apakah ada? Oh tentu saja, musik Jepang pun juga tidak kalah bagusnya dengan musik dari negeri Barat.



Jika musik Barat kebanyakan adalah classic atau Rock, musik Jepang mempunyai ciri khas sendiri dengan ritme dan Chord scale yang unik. Contohnya saja JRock yang bisa dibilang band unik. Kembali lagi ke soal Cosplay. Sebenarnya banyak juga Cosplay Barat, namun menurut saya kurang cantik bagus dan sedap dipandang mata. Cosplay Jepang entah kenapa kok kebanyakan hasilnya sangat memuaskan bahkan mendekati kemiripan toko asli dalam manga ataupun film kartun. Mungkin karena si pembuat manga/film kartun itu menggambarkan wajah orang Jepang, jadinya kalo orang jepang yang meniru pasti cocok Bahkan ada seorang wanita Jepang yang memang bekerja sebagai Cosplayer dan pendesain kostum-kostum Cosplay sekaligus modelnya.

Sejarah Cosplay

Sejak paruh kedua tahun 1960-an, penggemar cerita dan film fiksi ilmiah di Amerika Serikat sering mengadakan konfeksi fiksi ilmiah. Peserta konvensi mengenakan kostum seperti yang yang dikenakan tokoh-tokoh film fiksi ilmiah seperti Star Trek. Budaya Amerika Serikat sejak dulu mengenal bentuk-bentuk pesta topeng (masquerade) seperti dalam perayaan Halloween dan Paskah.

Tradisi penyelenggaraan konvensi fiksi ilmiah sampai ke Jepang pada dekade 1970-an dalam bentuk acara peragaan kostum (costume show). Di Jepang, peragaan “cosplay” pertama kali dilangsungkan tahun 1978 di Ashinoko, Prefektur Kanagawa dalam bentuk pesta topeng konvensi fiksi ilmiah Nihon SF Taikai ke-17. Kritikus fiksi ilmiah Mari Kotani menghadiri konvensi dengan mengenakan kostum seperti tokoh dalam gambar sampul cerita A Fighting Man of Mars karya Edgar Rice Burroughs. Tidak hanya Mari Kotani menghadiri Nihon SF Taikai sambil ber-cosplay. Direktur perusahaan animasi Gainax, Yasuhiro Takeda memakai kostum tokoh Star Wars 2.

Pada waktu itu, peserta konvensi menyangka Mari Kotani mengenakan kostum tokoh manga Triton of the Sea karya Osamu Tezuka. Kotani sendiri tidak berusaha keras membantahnya, sehingga media massa sering menulis kostum Triton of the Sea sebagai kostum cosplay pertama yang dikenakan di Jepang. Selanjutnya, kontes cosplay dijadikan acara tetap sejak Nihon SF Taikai ke-19 tahun 1980. Peserta mengenakan kostum Superman, Atom Boy, serta tokoh dalam Toki o Kakeru Shoujo dan film Virus. Selain di Comic Market, acara cosplay menjadi semakin sering diadakan dalam acara pameran d?jinshi dan pertemuan penggemar fiksi ilmiah di Jepang.



Majalah anime di Jepang sedikit demi sedikit mulai memuat berita tentang acara cosplay di pameran dan penjualan terbitan doujinshi. Liputan besar-besaran pertama kali dilakukan majalah Fanroad edisi perdana bulan Agustus 1980. Edisi tersebut memuat berita khusus tentang munculnya kelompok anak muda yang disebut “Tominoko-zoku” ber-cosplay di kawasan Harajuku dengan mengenakan kostum baju bergerak Gundam. Kelompok “Tominoko-zoku” dikabarkan muncul sebagai tandingan bagi Takenoko-zoku (kelompok anak muda berpakaian aneh yang waktu itu meramaikan kawasan Harajuku). Istilah “Tominoko-zoku” diambil dari nama sutradara film animasi Gundam, Yoshiyuki Tomino, dan sekaligus merupakan parodi dari istilah Takenoko-zoku. Foto peserta cosplay yang menari-nari sambil mengenakan kostum robot Gundam juga ikut dimuat. Walaupun sebenarnya artikel tentang Tominoko-zoku hanya dimaksudkan untuk mencari sensasi, artikel tersebut berhasil menjadikan “cosplay” sebagai istilah umum di kalangan penggemar anime.




Sebelum istilah cosplay digunakan oleh media massa elektronik, asisten penyiar Minky Yasu sudah sering melakukan cosplay. Kostum tokoh Minky Momo sering dikenakan Minky Yasu dalam acara temu darat mami no RADI-karu communication yang disiarkan antara lain oleh Radio T?kai sejak tahun 1984. Selanjutnya, acara radio yang sama mulai mengadakan kontes cosplay. Dari tahun 1989 hingga 1995, di tv asahi ditayangkan ranking kostum cosplay yang sedang populer dalam acara Hanakin Data Land.

Sekitar tahun 1985, hobi cosplay semakin meluas di Jepang karena cosplay telah menjadi sesuatu hal yang mudah dilakukan. Pada waktu itu kebetulan tokoh Kapten Tsubasa sedang populer, dan hanya dengan kaus T-shirt pemain bola Kapten Tsubasa, orang sudah bisa “ber-cosplay“. Kegiatan cosplay dikabarkan mulai menjadi kegiatan berkelompok sejak tahun 1986. Sejak itu pula mulai bermunculan fotografer amatir (disebut kamera-koz?) yang senang memotret kegiatan cosplay.

Begitulah kira-kira arti dan sejarah cosplay dari beberapa artikel yang saya baca dimajalah. Sampai sini dulu deh artikel saya kali ini. Semoga artikel saya ini bisa bermanfaat bagi para pembaca sekalian. Saya mohon maaf kalau ada kesalahan dalam penulisan kata.

TERIMA KASIH
Sumber :
http://entertainmentgeek-jimmy.blogspot.com/2012/01/arti-dan-sejarah-dari-cosplay-jepang.html

Tinjauan Pustaka - Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pengungkapan Intellectual Capital Pada Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar Di Bursa Efek indonesia



BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penelitian Terdahulu
Penelitian Goh dan Lim (2004) bertujuan untuk menemukan berapa banyak informasi tentang intellectual capital yang terdiri dari internal capital, external capital, dan employee competence, yang diungkapkan di dalam laporan tahunan perusahaan-perusahaan di Malaysia. Penelitian Goh dan Lim (2004) menggunakan content analysis yang dilakukan terhadap laporan tahunan periode 2001 dari 20 perusahaan yang memiliki laba tertinggi di bursa efek Malaysia. Hasil penelitian Goh dan Lim (2004) menunjukkan external capital yang paling banyak diungkapkan.
Review penelitian berikutnya adalah Abdolmohammadi (2005) yang meneliti hubungan antara kapitalisasi pasar dengan intellectual capital, book value dan ROA pada perusahaan di USA tahun 1990 dan 2001 dengan menggunakan model regresi. Abdolmohammadi (2005) membuktikan bahwa terdapat pengaruh jumlah pengungkapan komponen intellectual capital dalam laporan tahunan terhadap nilai kapitalisasi pasar perusahaan. Artinya, perusahaan yang mengungkapkan lebih banyak komponen intellectual capital dalam laporan tahunannya cenderung memiliki nilai kapitalisasi pasar yang lebih tinggi.
Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Bukh et al. (2005) tentang pengungkapan informasi intellectual capital dalam prospektus IPO (initial public offering) dari perusahaan-peruhahaan di Denmark. Lebih lanjut, penelitian Bukh et al. (2005) juga melihat bagaimana perubahan pengungkapan sukarela (voluntary disclosure) tentang intellectual capital selama periode 1999 sampai 2001, dan untuk menganalisis faktor-faktor apakah yang dapat menjelaskan jumlah pengungkapan di dalam prospektus. Hasil penelitian Bukh et al. (2005) adalah terjadi peningkatan pengungkapan intellectual capital setiap tahunnya dalam prospektus IPO di Denmark dengan jenis industri dan konsentrasi kepemilikan sebagai faktor-faktor yang mempengaruhi secara signifikan, sedangkan ukuran dan umur perusahaan tidak berpengaruh signifikan.
Penelitian berikutnya, yaitu White et al. (2007) yang menginvestigasi faktor-faktor pemicu potensial atas pengungkapan intellectual capital pada perusahaan publik sektor bioteknologi di Australia tahun 2005. Tujuan penelitian White et al. (2007) adalah adalah untuk menginvestigasi luasnya pengungkapan sukarela tentang intellectual capital yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan bioteknologi. Hal ini dilakukan dalam konteks teori agensi (Jensen dan Meckling, 1976) dengan menggunakan variabal-variabel independen yang meliputi ukuran perusahaan, konsentrasi kepemilikan, komisaris independen, umur perusahaan dan tingkat leverage. Hasil penelitian White et al. (2007), hanya konsentrasi kepemilikan yang tidak berpengaruh signifikan dengan pengungkapan intellectual capital.
Review penelitian selanjutnya, yaitu Li et al. (2008) yang melakukan penelitian mengenai pengungkapan informasi intellectual capital dalam laporan tahunan dari perusahaan-perusahaan yang terdaftar di bursa efek Inggris untuk tahun 2004 dan 2005. Hasil penelitian Li et al. (2008) menunjukkan bahwa hanya role duality yang tidak mempengaruhi pengungkapan intellectual capital. Variabel-variabel lain seperti komposisi dewan, struktur kepemilikan, mekanisme audit internal, length of listing, profitabilitas dan ukuran berpengaruh secara signifikan.
Selain temuan-temuan di atas, penelitian tentang intellectual capital di Indonesia mulai berkembang sejalan dengan kebutuhan perusahaan dalam meningkatkan pemberdayaan intangible asset sebagai salah satu faktor peningkat daya saing. Penelitian Sawarjuwono dan Kadir (2003) yang bersifat library research membahas tentang perlakuan, pengukuran, dan pelaporan intellectual capital. Review penelitian yang kedua, adalah Purnomosidhi (2006) yang bertujuan untuk memeriksa pengaruh karakteristik perusahaan terhadap pengungkapan intellectual capital. Hasil penelitian Purnomosidhi (2006) menunjukkan bahwa kinerja intellectual capital berhubungan signifikan terhadap pengungkapan intellectual capital, dengan metode pengumpulan data content analysis.
Pada penelitian berikutnya, Kuryanto dan Syafruddin (2007) menyebutkan bahwa intellectual capital tidak berpengaruh pada kinerja perusahaan. Obyek penelitian Kuryanto dan Syafruddin (2007) adalah perusahaan di Indonesia yang tidak dimiliki oleh pihak asing pada tahun 2003 sampai 2005. Regresi dan Partial Least Square (PLS) merupakan alat analisis yang digunakan.
Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Ulum dkk. (2007), di mana intellectual capital menjadi dasar penilaian kinerja karyawan, serta struktur modal pada perusahaan perbankan di Indonesia pada tahun 2006. Alat analisis yang digunakan adalah Partial Least Square (PLS). Hasil penelitian Ulum dkk. (2007), menunjukkan bahwa intellectual capital berpengaruh terhadap kinerja keuangan perusahaan masa kini maupun kinerja keuangan perusahaan di masa datang.
Review penelitian di Indonesia yang terakhir, adalah penelitian yang dilakukan Suhardjanto dan Wardhani (2010) dengan tujuan untuk meneliti tingkat intellectual capital disclosure dalam laporan tahunan perusahaan-perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI). Penelitian Suhardjanto dan Wardhani (2010)  menguji hubungan antara intellectual capital disclosure sebagai variabel dependen dengan karakteristik perusahaan (ukuran, profitabilitas, leverage, panjang listing pada Bursa Efek Indonesia dan tata kelola perusahaan) sebagai variabel independen. Analisis statistik menunjukkan bahwa ukuran perusahaan dan profitabilitas merupakan prediktor bagi tingkat intellectual capital disclosure. Tabel 2.1 di bawah ini menunjukkan ringkasan penelitian-penelitian terdahulu tentang intellectual capital.
TABEL 2.1
Penelitian-Penelitian Empiris Tentang Intellectual Capital
Penelitian
Variabel Dependen
Variabel Independen
Obyek Penelitian
Alat Analisis
Goh dan Lim (2004)
“Disclosing Intellectual Capital in Company Annual Reports”
Pengungkapan
modal
intelektual (ICD)
Internal capital, external capital, dan employee competence
20 perusahaan publik dengan laba terbesar di Malaysia tahun 2001
Content
Analysis
Abdolmohammadi (2005)
“Intellectual Capital and Market Capitalization”
Market Capitalization
ICD, Book Value, dan Return on Assets (ROA)
Perusahaan di
USA tahun 1990 dan 2000
Regresi
Bukh et al. (2005)
“Disclosure of Information on Intellectual Capital in Danish Initial Public Offerings (IPO) Prospectuses ”
Pengungkapan modal intelektual (ICD)
Jenis industri, ownership, size dan age
Prospektus IPO  dari perusahaan di Denmark tahun 1999 sampai dengan 2001
Content Analysis dan Statistical Analysis

Lanjutan tabel 2.1 dari halaman 11
Penelitian
Variabel Dependen
Variabel Independen
Obyek Penelitian
Alat Analisis
White et al. (2007)
”Drivers of Voluntary Intellectual Capital Disclosure in Listed Biotechnology Companies”
Pengungkapan
modal intelektual (ICD)
Size, Ownership, Board independence, Age of firm, dan
Leverage
Perusahaan
Bioteknologi di
Australia tahun 2005
Content Analysis dan Regresi
Li et al. (2008)
“Intellectual Capital Disclosure and Corporate Governance Structure in UK Firms”
Pengungkapan
modal intelektual (ICD)
Corporate Governance, Length of listing, Profitabitly dan Size
Perusahaan- yang terdaftar di bursa efek Inggris tahun 2004 dan 2005
Content Analysis dan Regresi
Sawarjuwono dan Kadir (2003)
Intellectual Capital: Perlakuan, Pengukuran dan Pelaporan”

Direct Intellectual
Capital Methods (DIC) dan Market Capitalization Methods (MCM)

Library Research
Purnomosidhi (2006)
”Pengungkapan Suka Rela Modal Intelektual Pada Perusahaan Publik di BEJ”
Pengungkapan
modal intelektual (ICD)
Size, Leverage, dan kinerja intellectual capital
Perusahaan publik di BEJ tahun 2001 sampai dengan tahun 2003
Content
Analysis dan Regresi

Kuryanto dan Syafruddin (2007)
“Pengaruh Modal Intelektual terhadap Kinerja Perusahaan”
Return on Equity, Earning per share, dan Annual Stock Return.
Value Added Capital Employed (VACA), Human Capital (VAHU),
dan Structural Capital  (STVA)
Perusahaan di BEI, tidak dimiliki pihak asing tahun 2003 sampai 2005
Regresi dan
Partial
Least
Square.
Ulum dkk. (2007)
Intellectual
Capital dan Kinerja Keuangan Perusahaan; Suatu Analisis dengan Pendekatan PLS
Return on total assets (ROA)
Value Added Capital Employed (VACA), Human Capital (VAHU),
dan Structural Capital  (STVA)
Perbankan di
Indonesia sampai dengan  tahun 2006 dan  melaporkan posisi keuangan
kepada BI
Partial
Least Square
Suhardjanto dan Wardhani (2010)
Praktik Intellectual Capital Disclosure Perusahaan yang Terdaftar di BEI”
Pengungkapan modal intelektual (ICD)
Tata Kelola Perusahaan, Size, Profitability, Leverage, dan Length of Listing on BEI
Perusahaan BEI tahun 2007 minimal terdaftar 2 tahun berturut-turut
Content
Analysis dan Regresi
Sumber: Diolah dari beberapa penelitian (2012).
2.2 Landasan Teori
2.2.1 Agency Theory
Jensen dan Meckling (1976) mengemukakan bahwa teori keagenan membuat suatu model kontraktual antara dua atau lebih orang (pihak), di mana salah satu pihak disebut agen dan pihak lain disebut prinsipal. Perusahaan mempunyai banyak kontrak, misalnya kontrak kerja antara perusahaan dengan para manajernya dan kontrak pinjaman antara perusahaan dengan krediturnya. Untuk itulah dalam teori agensi dikenal adanya kontrak kerja, yang mengatur proporsi utilitas masing-masing pihak dengan tetap memperhitungkan kemanfaatan secara keseluruhan. Kontrak kerja yang optimal adalah kontrak yang seimbang antara prinsipal dan agen yang secara matematis memperlihatkan pelaksanaan kewajiban yang optimal oleh agen dan pemberian imbalan khusus oleh prinsipal kepada agen.
Prinsipal didefinisikan sebagai pihak yang memberikan mandat kepada agen, untuk dapat bertindak atas nama prinsipal, sedangkan agen merupakan pihak yang diberi amanat oleh prinsipal untuk menjalankan perusahaan dan berkewajiban untuk mempertanggungjawabkan amanat tersebut. Satu elemen kunci dari teori keagenan adalah bahwa prinsipal dan agen mempunyai perbedaan preferensi dan tujuan. Teori agensi mengasumsikan bahwa semua individu bertindak atas kepentingan mereka (Jensen dan Meckling, 1976).
Pada teori agensi, information gap yang terjadi pada berbagai perusahaan dikarenakan pihak manajer setiap hari berinteraksi langsung dengan kegiatan perusahaan, sehingga pihak manajer sangat mengetahui kondisi dalam perusahaan dengan demikian pihak manajer mempunyai informasi yang sangat lengkap tentang perusahaan yang dikelolanya. Pemegang saham hanya mengandalkan laporan yang diberikan oleh pihak manajemen, karena pemegang saham tidak berinteraksi secara langsung pada kegiatan perusahaan sehingga pemegang saham hanya memiliki sebagian atau lebih sedikit informasi dibanding manajer perusahaan (Jensen dan Meckling, 1976). Oleh karena itu menurut Suhardjanto dan Wardhani (2010), pengungkapan merupakan mekanisme untuk mengontrol kinerja manajer. Sebagai konsekuensinya, manajer didorong untuk mengungkapkan voluntary information seperti pengungkapan intellectual capital.
Adanya agency problem diatas, menimbulkan biaya keagenan (agency cost) yang menurut Jensen dan Meckling (1976) terdiri dari:
a.    Monitoring cost adalah biaya yang timbul dan ditanggung oleh prinsipal untuk memonitor perilaku agen, yaitu untuk mengukur, mengamati dan mengontrol perilaku agen. Contohnya adalah biaya audit dan biaya untuk menetapkan rencana kompensasi manajer, pembatasan anggaran dan aturan-aturan operasi.
b.    Bonding cost adalah biaya yang ditanggung oleh agen untuk menetapkan dan mematuhi mekanisme yang menjamin bahwa agen akan bertindak untuk kepentingan prinsipal. Contohnya adalah biaya yang dikeluarkan oleh manajer untuk menyediakan laporan keuangan kepada pemegang saham.
c.    Residual loss, timbul dari kenyataan bahwa tindakan agen kadangkala berbeda dari tindakan yang memaksimukan kepentingan prinsipal.

2.2.2 Stakeholder Theory
Freeman (1984) dalam Donaldson dan Preston (1995), mendefinisikan stakeholder sebagai “setiap kelompok atau individu yang dapat mempengaruhi atau dipengaruhi oleh pencapaian tujuan perusahaan.” Pada awalnya yang dimaksud dengan stakeholder mencakup para investor, para karyawan (employees), para pemasok (suppliers) dan para pelanggan (customers). Hubungan antara perusahaan dengan karyawan dan pemasok pun berjalan satu arah, kaku dan berorientasi jangka pendek. Hal itu menyebabkan setiap bagian perusahaan mempunyai kepentingan, nilai dan tujuan yang berbeda-beda.
Pengakuan terhadap adanya berbagai stakeholders di luar investor yang dapat mempengaruhi efektivitas pencapaian tujuan perusahaan telah mengubah dimensi tanggung jawab perusahaan dari tanggung jawab ekonomi semata-mata dalam bentuk maksimasi laba untuk kemakmuran para investor menjadi tanggung jawab kepada sejumlah stakeholders yang lebih luas. Hal tersebut, mengharuskan perusahaan untuk berkolaborasi dengan seluruh stakeholder-nya. Hubungan perusahaan dengan internal stakeholders dibangun berdasarkan konsep saling bermanfaat yang dapat membangun kerjasama untuk menciptakan kesinambungan usaha perusahaan, sedangkan hubungan dengan stakeholder di luar perusahaan bukan hanya bersifat transaksional dan jangka pendek namun lebih kepada hubungan yang bersifat fungsional yang bertumpu pada kemitraan di mana perusahaan juga berusaha untuk bersama-sama membangun kualitas kehidupan external stakeholders (Freeman, 1984) Donaldson dan Preston (1995).
Freeman (1984) dalam Donaldson dan Preston (1995) mengemukakan bahwa stakeholder theory memelihara hubungan stakeholder yang mencakup semua bentuk hubungan antara perusahaan dengan seluruh stakeholdernya. Berdasarkan teori stakeholder, manajemen organisasi diharapkan untuk melakukan aktivitas yang dianggap penting oleh stakeholder dan melaporkan kembali aktivitas-aktivitas tersebut pada stakeholder. Stakeholders memiliki hak untuk tidak menggunakan informasi tersebut, atau tidak dapat memainkan peran konstruktif dalam kelangsungan hidup perusahaan. Selain itu, teori stakeholder mengasumsikan bahwa akuntabilitas organisasi tidak hanya terbatas pada kinerja ekonomi atau keuangan saja sehingga perusahaan perlu melakukan pengungkapan sukarela (voluntary) tentang intellectual capital dan informasi lainnya melebihi dari yang diharuskan (mandatory) oleh badan yang berwenang.

2.2.3 Definisi Intellectual Capital
Menurut Purnomosidhi (2006), sampai sekarang belum ada definisi intellectual capital yang konklusif dan masih terjadi perdebatan di antara para pakar. Hal ini dikarenakan intellectual capital merupakan konsep yang masih membingungkan (enigmatic) dan relatif baru. Di samping itu, intellectual capital seringkali dianggap sebagai nilai misterius (mysterious value) yang terletak di antara nilai buku (book value) dan nilai pasar perusahaan.
Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) (1999) dalam Purnomosidhi (2006) mendefinisikan intellectual capital sebagai nilai ekonomik dari dua kategori intangibles assets perusahaan: (1) organisational (structural) capital; dan (2) human capital. Structural capital meliputi proprietary sofware system, distribution networks, dan supply chains, sedangkan human capital mencakup human resources baik dalam perusahaan maupun di luar perusahaan, seperti customers dan suppliers.
Menurut Bontis (1998), intellectual capital merupakan interaksi dari human capital, customer capital, dan structural capital. Williams (2001) berpendapat bahwa intellectual capital adalah informasi dan pengetahuan yang diaplikasikan dalam pekerjaan untuk menciptakan nilai. Definisi ini menekankan pada kemampuan intellectual capital dalam menciptakan nilai. Sementara itu, Astuti dan Sabeni (2005) mendefinisikan intellectual capital sebagai materi intelektual yang meliputi pengetahuan, informasi, intellectual property, dan pengalaman yang dapat digunakan secara bersama untuk menciptakan kekayaan. Ini adalah suatu kekayaan kolektif atau seperangkat pengetahuan yang berdaya guna.
Kesimpulan yang dapat dibuat dari berbagai definisi di atas adalah intellectual capital merupakan konsep yang dapat memberikan sumber daya berbasis pengetahuan baru dan mendeskripsikan aktiva tak berwujud yang jika digunakan secara optimal memungkinkan perusahaan untuk menjalankan strateginya dengan efektif dan efisien. Dengan demikian, intellectual capital adalah pengetahuan yang memberikan informasi mengenai nilai tak berwujud perusahaan yang dapat mempengaruhi daya tahan dan keunggulan bersaing.



2.2.4 Komponen Intellectual Capital
Setelah mengetahui definisi intellectual capital, perlu memahami komponen-komponen intellectual capital. Sawarjuwono dan Kadir (2003) menyatakan bahwa intellectual capital terdiri dari tiga elemen utama yaitu:
1.    Human Capital (modal manusia). Human capital merupakan lifeblood dalam intellectual capital. Di sinilah sumber innovation dan improvement, tetapi merupakan komponen yang sulit untuk diukur. Human capital juga merupakan tempat bersumbernya pengetahuan yang sangat berguna, keterampilan, dan kompetensi dalam suatu organisasi atau perusahaan. Human capital mencerminkan kemampuan kolektif perusahaan untuk menghasilkan solusi terbaik berdasarkan pengetahuan yang dimiliki oleh orang-orang yang ada dalam perusahaan tersebut. Human capital akan meningkat jika perusahaan mampu menggunakan pengetahuan yang dimiliki oleh karyawannya. Brinker (2000) dalam Sawarjuwono dan Kadir (2003) memberikan beberapa karakteristik yang dapat digolongkan dalam modal ini, yaitu training programs, credential, experience, competence, recruitment, mentoring, learning programs, individual potential and personality.
2.    Structural Capital atau Organizational Capital (modal organisasi). Structural capital merupakan kemampuan organisasi atau perusahaan dalam memenuhi proses rutinitas perusahaan dan strukturnya yang mendukung usaha karyawan untuk menghasilkan kinerja intelektual yang optimal serta kinerja bisnis secara keseluruhan, misalnya: sistem operasional perusahaan, proses manufakturing, budaya organisasi, filosofi manajemen dan semua bentuk intellectual property yang dimiliki perusahaan. Seorang individu dapat memiliki tingkat intelektualitas yang tinggi, tetapi jika organisasi memiliki sistem dan prosedur yang buruk maka intellectual capital tidak dapat mencapai kinerja secara optimal dan potensi yang ada tidak dapat dimanfaatkan secara maksimal.
3.    Relational Capital atau Costumer Capital (modal pelanggan). Elemen ini merupakan komponen intellectual capital yang memberikan nilai secara nyata. Relational capital merupakan hubungan yang harmonis atau association network yang dimiliki oleh perusahaan dengan para mitranya, baik yang berasal dari para pemasok yang andal dan berkualitas, berasal dari pelanggan yang loyal dan merasa puas akan pelayanan perusahaan yang bersangkutan, berasal dari hubungan perusahaan dengan pemerintah maupun dengan masyarakat sekitar. Relational capital dapat muncul dari berbagai bagian di luar lingkungan perusahaan yang dapat menambah nilai bagi perusahaan tersebut.

2.2.5 Pengungkapan Intellectual Capital
Dari literatur-literatur yang berhasil dikumpulkan, kebanyakan para penulis membahas tentang pengukuran intellectual capital. Sedangkan bagaimana pelaporan intellectual capital dibuat masih jarang dibahas. Seperti halnya dengan pengukuran intellectual capital, pelaporan aktiva ini belum dibuatkan sebuah standar tertentu. Sawarjuwono dan Kadir (2003) menyatakan penelitian terhadap pelaporan intellectual capital ini juga dilakukan oleh Guthrie dan Petty (2000) yang melakukan penelitian terhadap 20 perusahaan di Australia yang telah terdaftar pada bursa efek. Hasil penelitian ini menunjukkan porsi pengungkapan setiap elemen intellectual capital, di mana 30% indikator digunakan untuk mengungkapkan human capital, 30% organizational capital (internal structure) dan 40% customer capital (external structure). Di samping hal-hal di atas, riset Guthrie dan Petty (2000) dalam Sawarjuwono dan Kadir (2003) menunjukkan bahwa:
1.    Pengungkapan intellectual capital lebih banyak (95%) disajikan secara terpisah dan tidak ada yang disajikan dalam angka atau kuantitatif. Hal ini mendukung pandangan yang selama ini kuat yaitu aktiva tidak berwujud atau intellectual capital sulit untuk dikuantifikasikan.
2.    Pengungkapan mengenai modal eksternal lebih banyak dilakukan oleh perusahaan. Tidak terdapat pola tertentu dalam laporan-laporan tersebut. Hal-hal yang banyak diungkapkan menyebar di antara ketiga elemen intellectual capital.
3.    Pelaporan dan pengungkapan intellectual capital dilakukan masih secara sebagian dan belum menyeluruh.
4.    Secara keseluruhan perusahaan menekankan bahwa intellectual capital merupakan hal penting untuk menuju sukses dalam menghadapi persaingan masa depan. Namun hal itu belum dapat diterjemahkan dalam suatu pesan yang solid dan koheren dalam laporan tahunan.


2.3 Kerangka Pemikiran Teoritis
Penelitian ini dilakukan dalam rangka untuk menguji secara empiris faktor-faktor penentu (determinan) motivasi perusahaan mengungkapkan intellectual capital. Dengan tujuan membentuk dan menguji model penelitian, digunakan dua teori dasar yaitu teori stakeholder dan teori agensi.
Teori stakeholder mengasumsikan bahwa akuntabilitas organisasi tidak hanya terbatas pada kinerja ekonomi atau keuangan saja sehingga perusahaan perlu melakukan pengungkapan sukarela (voluntary) tentang intellectual capital. Pengungkapan intellectual capital dapat meningkatkan daya guna laporan tahunan dalam memprediksikan kinerja keuangan di masa mendatang. Faktor-faktor pendorong perusahaan mengungkapkan intellectual capital antara lain ukuran perusahaan, konsentrasi kepemilikan, komisaris independen, umur perusahaan, leverage dan length of listing.
Berdasarkan teori agensi, terjadi asimetri informasi antara prinsipal dengan agen karena agen terlibat secara langsung dalam kegiatan perusahaan. Untuk mengendalikan kinerja agen, prinsipal mendorong agen melakukan pengungkapan sukarela intellectual capital. Semakin besar ukuran perusahaan, akan semakin banyak aktivitas sehingga makin tinggi tingkat pengungkapan. Keberadaan pemegang saham yang tingkat kepemilikannya terhadap perusahaan tinggi dan keberadaan komisaris independen dapat mengawasi serta mendorong manajemen untuk melakukan pengungkapan informasi yang lebih luas.
Teori agensi juga dapat menjelaskan pengaruh umur perusahaan, leverage dan length of listing terhadap pengungkapan sukarela intellectual capital. Semakin panjang umur perusahaan, akan mengetahui kebutuhan informasi perusahaan sehingga mengungkapan informasi lebih luas. Semakin tinggi tingkat leverage perusahaan menunjukkan bahwa makin besar tingkat risiko keuangan sehingga manajer ditekan untuk mengungkapkan lebih banyak informasi. Perusahaan yang umur listing-nya muda berupaya mendapatkan kepercayaan investor dan tambahan modal dengan mengungkapkan banyak informasi perusahaan. Hubungan antara beberapa karakteristik perusahaan sebagai variabel independen dengan pengungkapan intellectual capital sebagai variabel dependen secara sistematis dapat digambarkan dalam kerangka teoritis di bawah ini.


2.4 Pengembangan Hipotesis
2.4.1 Pengaruh Ukuran Perusahaan terhadap Pengungkapan Sukarela
         Intellectual Capital
Semakin besar ukuran perusahaan, akan semakin banyak aktivitas dan makin tinggi tingkat pengungkapan karena tingginya tuntutan terhadap keterbukaan informasi dibanding perusahaan yang lebih kecil. Perusahaan besar mencoba mengurangi asimetri informasi yang terjadi dengan mengungkapkan informasi yang lebih banyak, termasuk mengungkapkan intellectual capital. Biaya agensi timbul karena kepentingan yang bertentangan dari para pemegang saham, manajer dan pemilik utang (Freedman dan Jaggi, 2005) dalam Suhardjanto dan Wardhani (2010).
Hackstone dan Milne (1996) dalam Purnomosidhi (2006) menyatakan ukuran perusahaan digunakan sebagai variabel independen dengan asumsi bahwa perusahaan yang lebih besar melakukan aktivitas yang lebih banyak dan biasanya memiliki banyak unit usaha, serta memiliki potensi penciptaan nilai jangka panjang. Perusahaan besar lebih sering diawasi oleh kelompok stakeholder yang berkepentingan dengan bagaimana manajemen mengelola intellectual capital yang dimiliki, seperti pekerja, pelanggan dan organisasi pekerja.
Penelitian White et al. (2007) menunjukkan adanya hubungan positif yang signifikan antara ukuran perusahaan dengan pengungkapan intellectual capital. Hasil penelitian yang sama juga terdapat pada penelitian Singh dan VanderZahn (unpublished) dalam White et al. (2007) yang meneliti adanya pengaruh ukuran perusahaan pada pengungkapan intellectual capital di perusahaan gas dan minyak Australia. Di Indonesia, penelitian Suhardjanto dan Wardhani (2010) juga menyebutkan bahwa ukuran perusahaan merupakan prediktor yang mempengaruhi tingkat intellectual capital disclosure karena perusahaan yang besar akan memberikan dampak sosial ekonomis yang juga besar terhadap lingkungannya, sehingga lebih menjadi sorotan stakeholders. Oleh karena itu, perusahaan dituntut untuk semakin banyak mengungkapkan informasi, termasuk informasi tentang intellectual capital. Dengan demikian, berdasarkan argumentasi yang dijelaskan di atas, dapat dibangun hipotesis:
H1: Ukuran perusahaan berpengaruh terhadap pengungkapan sukarela
       intellectual capital.

2.4.2 Pengaruh Konsentrasi Kepemilikan terhadap Pengungkapan Sukarela
         Intellectual Capital
Struktur kepemilikan saham menunjukkan bagaimana distribusi kekuasaan dan pengaruh pemegang saham atas kegiatan operasional perusahaan. Salah satu karakteristik struktur kepemilikan adalah kepemilikan terkonsentrasi. Kepemilikan saham terkonsentrasi adalah suatu kondisi ketika sebagian besar saham dimiliki oleh sebagian kecil individu atau kelompok sehingga individu atau kelompok tersebut memiliki jumlah saham relatif dominan dibandingkan dengan pemegang saham lainnya (Yuniasih dkk., 2011).
Teori agensi telah menjadi landasan pemikiran dalam menjelaskan konsentrasi kepemilikan saham. Karena dengan semakin terkonsentrasinya kepemilikan perusahaan, maka pemegang saham mayoritas akan semakin menguasai perusahaan dan semakin berpengaruh dalam pengambilan keputusan. Pemegang saham yang berada pada posisi kuat tersebut, akan memiliki akses informasi yang signifikan sehingga dapat mengurangi masalah agensi. Dengan adanya pengawasan dan tekanan dari pemegang saham mayoritas, maka akan mendorong agen untuk meningkatkan praktik pengungkapan intellectual capital (Cormier et al., 2005) dalam Li et al. (2008).
Penelitian McKinnon dan Dalimunthe (1993) dalam White et al. (2007) menjelaskan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara struktur kepemilikan saham terhadap pengungkapan laporan tahunan perusahaan di Australia. Li et al. (2008) juga telah berhasil membuktikan, terdapat pengaruh signifikan antara konsentrasi kepemilikan dengan pengungkapan intellectual capital. Penelitian McKinnon dan Dalimunthe (1993) beserta Li et al. (2008) tidak bisa dibuktikan oleh penelitian White et al. (2007) yang menyatakan tidak ada hubungan antara praktik pengungkapan intellectual capital dengan konsentrasi kepemilikan. Hal ini mengindikasikan bahwa pemilik saham mungkin tidak membutuhkan pelaporan pertanggungjawaban yang baik dari pihak manajemen dan dewan komisaris. Berdasarkan argumen di atas maka hipotesis kedua dalam penelitian ini adalah:
H2: Konsentrasi kepemilikan berpengaruh terhadap pengungkapan sukarela
       intellectual capital.

2.4.3 Pengaruh Komisaris Independen terhadap Pengungkapan Sukarela
         Intellectual Capital
Komisaris Independen adalah anggota dewan komisaris yang tidak terafiliasi dengan direksi, anggota dewan komisaris lainnya dan pemegang saham pengendali, serta bebas dari hubungan bisnis atau hubungan lainnya yang dapat mempengaruhi kemampuannya untuk bertindak independen atau bertindak semata-mata demi kepentingan perusahaan. Teori agensi mendasarkan hubungan antara pemegang saham dan manajer. Perbedaan kepentingan menyebabkan terjadinya asimetri informasi antara pemilik dan manajer perusahaan. Keberadaan komisaris independen menjadi penting, karena di dalam praktik sering ditemukan transaksi yang mengandung benturan kepentingan yang mengabaikan kepentingan pemegang saham publik (minoritas), serta stakeholder lainnya (White et al., 2007).
Sebagai pihak yang independen dan netral dalam perusahaan, diharapkan mampu menjembatani adanya asimetri informasi yang terjadi antara pihak pemilik dengan pihak manajer dengan mendorong anggota dewan komisaris lain untuk melakukan tugas pengawasan lebih baik lagi. Hal tersebut dilakukan agar dapat melindungi seluruh pemangku kepentingan dari tindakan agen yang menyimpang. Jika pengawasan telah dilakukan dengan efektif, maka pengelolaan perusahaan akan dilakukan dengan baik pula, dan manajemen akan mengungkapkan semua informasi yang ada, termasuk informasi tentang intellectual capital (White et al., 2007).
Penelitian White et al. (2007) dan Li et al. (2008) menyebutkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara komisaris independen dengan pengungkapan intellectual capital. Sebaliknya, Suhardjanto dan Wardhani (2010) justru tidak menemukan adanya pengaruh signifikan dari komisaris independen terhadap pengungkapan sukarela intellectual capital. Hal tersebut dikarenakan peran dan fungsi komisaris independen belum optimal di Indonesia. Atas dasar argumentasi ini, maka dapat dibuat hipotesis berikutnya:
H3: Komisaris Independen berpengaruh terhadap pengungkapan sukarela
       intellectual capital.
2.4.4 Pengaruh Umur Perusahaan terhadap Pengungkapan Sukarela
         Intellectual Capital
Umur perusahaan menunjukkan perusahaan tetap eksis, mampu bersaing dan memanfaatkan peluang bisnis dalam suatu perekonomian. Dengan mengetahui umur perusahaan, maka akan diketahui pula sejauh mana perusahaan tersebut dapat survive (Yularto dan Chariri, 2003) dalam Haryanto dan Aprilia (2009).
Umur perusahaan diperkirakan memiliki hubungan yang positif terhadap kualitas pengungkapan informasi perusahaan. Semakin panjang umur perusahaan akan memberikan pengungkapan informasi yang lebih luas, termasuk pengungkapan intellectual capital dibanding perusahaan lain yang umurnya lebih pendek. Alasan yang mendasarinya terkait dengan teori agensi, di mana perusahaan yang memiliki pengalaman lebih dalam pengungkapan laporan tahunan akan lebih mengetahui kebutuhan informasi perusahaan yang dapat mengurangi asimetri informasi (Marwata, 2001) dalam Haryanto dan Aprilia (2009).
Penelitian Bukh et al. (2005), tidak menemukan adanya hubungan antara umur perusahaan dengan pengungkapan intellectual capital. Sebaliknya penelitian White et al. (2007), menjelaskan bahwa terdapat hubungan positif signifikan antara umur perusahaan dengan pengungkapan intellectual capital. Atas dasar pernyataan di atas, maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut:
H4: Umur perusahaan berpengaruh terhadap pengungkapan sukarela
       intellectual capital.



2.4.5 Pengaruh Leverage terhadap Pengungkapan Sukarela Intellectual Capital
Leverage merupakan pengukur besarnya aktiva yang dibiayai dengan utang. Utang yang digunakan untuk membiayai aktiva berasal dari kreditor, bukan dari pemegang saham ataupun investor. Teori agensi juga digunakan untuk menjelaskan hubungan antara leverage dengan pengungkapan laporan tahunan perusahaan (Jensen dan Meckling, 1976).
Perusahaan yang memiliki proporsi utang yang tinggi dalam struktur modalnya akan menanggung biaya keagenan yang lebih besar, dibandingkan dengan perusahaan berproporsi utang kecil. Untuk mengurangi cost agency tersebut, manajemen perusahaan dapat mengungkapkan lebih banyak informasi yang diharapkan akan semakin meningkat seiring dengan semakin tingginya tingkat leverage. Teori keagenan juga memprediksi bahwa perusahaan dengan rasio leverage yang lebih tinggi akan mengungkapkan lebih banyak informasi, terutama informasi tentang intellectual capital karena tingginya tingkat risiko keuangan yang dihadapi perusahaan (Jensen dan Meckling, 1976).
Penelitian White et al. (2007) menyebutkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara leverage dengan pengungkapan intellectual capital. Namun, pada penelitian Chow dan Wong-Boren (1987) dalam White et al. (2007) menunjukkan tidak ada hubungan antara leverage dengan pengungkapan intellectual capital pada perusahaan di New Zealand. Sejalan dengan penelitian Chow dan Wong-Boren (1987) dalam White et al. (2007), Suhardjanto dan Wardhani (2010) juga menemukan bahwa leverage bukanlah prediktor yang baik terhadap intellectual capital disclosure karena perusahaan dengan tingkat leverage tinggi mengurangi pengungkapan agar tidak menjadi sorotan debtholder. Maka berdasarkan argumentasi di atas, dapat dibangun hipotesis sebagai berikut:
H5: Leverage berpengaruh terhadap pengungkapan sukarela intellectual
       capital.

2.4.6 Pengaruh Length of Listing terhadap Pengungkapan Sukarela Intellectual
         Capital
Lamanya periode perusahaan yang telah terdaftar pada pasar modal mungkin menjadi relevan dalam menjelaskan variasi pengungkapan. Perusahaan yang umur listing-nya muda berupaya untuk mendapatkan tambahan modal dibandingkan dengan perusahaan yang lebih lama listing. Caranya adalah dengan mengungkapkan banyak informasi perusahaan termasuk pengungkapan intellectual capital (Barnes dan Walker, 2006) dalam Li et al. (2008).
Sesuai dengan teori agensi, semakin banyak informasi yang diungkapkan dapat menjembatani asimetri informasi sehingga diharapkan akan makin tinggi tingkat kepercayaan investor. Perusahaan muda memiliki keinginan yang lebih besar untuk mengurangi skeptisme dan meningkatkan kepercayaan investor (Haniffa dan Cooke, 2002) dalam Suhardjanto dan Wardhani (2010).
Penelitian Li et al. (2008) menjelaskan bahwa terdapat hubungan negatif yang signifikan antara listing age terhadap pengungkapan intellectual capital pada perusahaan di Inggris. Sebaliknya, Suhardjanto dan Wardhani (2010) menyatakan tidak ada pengaruh antara length of listing on BEI dengan pengungkapan intellectual capital. Atas dasar argumentasi di atas, maka hipotesis terakhir adalah:
H6: Length of listing berpengaruh terhadap pengungkapan sukarela
       intellectual capital.