BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Perkembangan ilmu pengetahuan telah membawa suatu solusi
bagi organisasi bisnis untuk mencapai kesuksesan melalui pencapaian keunggulan
kompetitif. Wujud perkembangan ilmu pengetahuan tersebut adalah lahirnya konsep
Intellectual Capital (IC) (Anatan,
2006). Penerapan bisnis berdasarkan pengetahuan (knowledge based
business) membuat penciptaan nilai perusahaan berubah. Modal yang konvensional
seperti sumber daya alam, sumber daya keuangan dan aktiva fisik lainnya menjadi kurang penting dibandingkan dengan modal
yang berbasis pada pengetahuan dan
teknologi. Dengan menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi maka akan dapat diperoleh bagaimana cara menggunakan
sumber daya lainnya secara efisien dan efektif,
yang nantinya akan memberikan keunggulan bersaing (Rupert, 1998) dalam Sawarjuwono dan Kadir (2003).
Abidin (2000) dalam Sawarjuwono dan Kadir (2003)
menyatakan bahwa implementasi intellectual
capital merupakan sesuatu yang masih baru, bukan saja di Indonesia tetapi
juga di lingkungan bisnis global, hanya beberapa negara maju yang telah mulai
untuk menerapkan konsep ini, contohnya Australia, Amerika dan negara-negara Skandinavia.
Pada umumnya kalangan bisnis masih belum menemukan jawaban yang tepat mengenai
nilai lebih apa yang dimiliki oleh perusahaan. Nilai lebih ini sendiri dapat
berasal dari kemampuan berproduksi suatu perusahaan sampai pada loyalitas
pelanggan terhadap perusahaan. Nilai lebih ini dihasilkan oleh intellectual capital yang dapat
diperoleh dari budaya pengembangan perusahaan maupun kemampuan perusahaan dalam
memotivasi karyawannya sehingga produktivitas perusahaan dapat dipertahankan
atau bahkan dapat meningkat. Jadi, intellectual
capital telah menjadi aset yang sangat bernilai dalam dunia bisnis modern. Hal ini menimbulkan tantangan
bagi para akuntan untuk mengidentifikasi, mengukur dan mengungkapkannya dalam
laporan tahunan.
Menurut Chrisdianto (2009), laporan tahunan berguna untuk
memberikan informasi mengenai keadaan perusahaan kepada pihak-pihak yang
berkepentingan terhadap perusahaan tersebut, seperti investor dan kreditor.
Laporan tahunan tidak boleh hanya berfokus pada masalah keuangan saja, tetapi
juga harus mampu memberikan informasi lain yang bersifat non keuangan untuk
mendukung terciptanya laporan tahunan yang relevan dan reliabel. Salah satu
masalah yang harus diungkapkan dalam laporan tahunan untuk meningkatkan daya
guna yang dimiliki adalah pengungkapan intellectual
capital perusahaan.
Intellectual capital
merupakan salah satu faktor yang memiliki peranan penting untuk mendapatkan
kinerja keuangan yang bagus bagi perusahaan sehingga masalah intellectual capital diyakini amat
penting untuk diungkapkan dalam laporan tahunan yang disajikan oleh suatu
perusahaan. Perusahaan yang saat ini
memiliki kinerja keuangan kurang bagus belum tentu juga memiliki kinerja
keuangan yang tidak bagus di masa mendatang karena memiliki dukungan intellectual capital yang baik, bahkan
bukan tidak mungkin perusahaan tersebut lebih unggul dari perusahaan lainnya. Hasil
dari kegiatan peningkatan keahlian dan pengetahuan karyawan sebagai sumber daya
manusia perusahaan yang merupakan komponen intellectual
capital tidak bisa diukur dari sudut keuangan untuk jangka pendek. Umumnya
kegiatan ini membutuhkan biaya yang tinggi, tetapi manfaatnya baru dapat
dirasakan untuk masa mendatang (Chrisdianto, 2009).
Investor melakukan prediksi kinerja keuangan perusahaan
untuk menetapkan keputusan pembelian saham. Investor akan membeli saham
perusahaan yang diprediksi memiliki kinerja keuangan terbaik di masa mendatang.
Hal ini dikaitkan dengan balas jasa yang akan diterima oleh investor baik itu
dividen maupun capital gain. Kreditor
melakukan prediksi terhadap kinerja keuangan perusahaan di masa mendatang
karena berkepentingan terhadap penentuan pemberian pinjaman kepada perusahaan
yang bersangkutan. Bila prediksi kinerja keuangan perusahaan di masa mendatang
memberikan informasi yang bersifat positif maka kreditor akan memutuskan untuk
memberikan pinjaman karena perusahaan punya kemampuan membayar bunga serta
pokok pinjaman (Chrisdianto, 2009).
Abidin (2000) dalam Sawarjuwono dan Kadir (2003) berpendapat
bahwa intellectual capital masih belum dikenal secara luas di Indonesia. Sampai dengan saat ini, perusahaan-perusahaan di Indonesia
cenderung menggunakan conventional based dalam membangun bisnisnya
sehingga produk yang dihasilkannya masih miskin kandungan teknologi. Di samping
itu, perusahaan-perusahaan tersebut belum memberikan perhatian lebih terhadap human
capital, structural capital,
dan customer capital.
Padahal semua ini merupakan elemen pembangun intellectual capital perusahaan. Kesimpulan ini dapat diambil karena minimnya informasi
tentang intellectual capital di
Indonesia. Perusahaan-perusahaan di Indonesia akan dapat bersaing apabila
menggunakan keunggulan kompetitif yang diperoleh melalui inovasi-inovasi
kreatif yang dihasilkan oleh intellectual
capital perusahaan. Hal ini akan mendorong terciptanya produk-produk yang
semakin favourable dimata konsumen.
Sejumlah
penelitian tentang pengungkapan sukarela intellectual
capital telah pernah dilakukan, salah satunya oleh White et al. (2007). Objek penelitian White et al. (2007) adalah 102 perusahaan
bioteknologi yang telah listed di
Australia tahun 2005. White et al. (2007)
juga menyatakan bahwa intellectual capital
disclosure index (ICD Index) yang
dikembangkan oleh Bukh et al.
(2005), memisahkan pengungkapan sukarela intellectual capital oleh perusahaan ke dalam enam dimensi yaitu,
karyawan, pelanggan, teknologi informasi, pemrosesan, riset dan pengembangan
dan pernyataan strategis. Dalam penelitian White et al. (2007) sejumlah variabel
independen digunakan untuk menguji faktor-faktor yang mempengaruhi pengungkapan
sukarela intellectual capital meliputi
ukuran perusahaan, konsentrasi kepemilikan, dewan independen (komisaris
independen), umur perusahaan dan tingkat leverage.
Penelitian ini merujuk pada
penelitian White et al. (2007)
dengan menambahkan length of listing sebagai
variabel independen. Argumentasi ini didukung oleh pernyataan Li et al. (2008) bahwa pengungkapan
intellectual capital berhubungan dengan listing age. Perusahaan
yang umur listing-nya muda berupaya
untuk mengurangi skeptisme dan meningkatkan kepercayaan investor agar mendapatkan
tambahan modal dengan mengungkapkan banyak informasi perusahaan termasuk pengungkapan sukarela intellectual capital.
Isu tentang intellectual capital menarik untuk diteliti dalam konteks Indonesia
antara lain karena pertama, belum adanya pedoman
bagi pengungkapan informasi intellectual
capital untuk melindungi kepentingan pemakai. Alasan ini dipertegas oleh
Purnomosidhi (2006) yang berpendapat bahwa intellectual
capital perusahaan dapat dianggap sebagai bentuk unaccounted capital dalam
sistem akuntansi tradisional meskipun beberapa di antaranya, misalnya goodwill,
patent, copyright, dan
trade mark diakui sebagai aktiva tidak berwujud. Timbulnya unaccounted
capital tersebut disebabkan sangat ketatnya kriteria akuntansi bagi
pengakuan dan penilaian aktiva, yaitu keteridentifikasian, adanya pengendalian
sumber daya, dan adanya manfaat ekonomis di masa depan (PSAK NO. 19). Akibatnya,
laporan tahunan yang tidak menyajikan pengungkapan intellectual capital akan berkurang nilai relevansi dan reliabilitasnya
sehingga pihak-pihak yang membutuhkan laporan tahunan, seperti investor dan
kreditor dapat mengambil keputusan yang tidak tepat karena melakukan prediksi
kinerja keuangan yang salah.
Alasan kedua, yaitu adanya pemberian
insentif pajak bagi industri atau investor yang melakukan proses penelitian dan
pengembangan (R&D) di Indonesia. Suhardjanto dan Wardhani (2010)
mempertegas alasan itu dengan menerangkan bahwa tujuan pemberian insentif
tersebut adalah untuk mendorong dunia usaha agar lebih giat melakukan kegiatan
inovasi dan R&D, sehingga diharapkan dapat meningkatkan perhatian
perusahaan terhadap pentingnya intellectual
capital dan menarik investor luar negeri masuk ke Indonesia.
Alasan yang
terakhir adalah dunia bisnis di Indonesia kurang memiliki keunggulan kompetitif
yang menyebabkan rendahnya daya saing. Alasan tersebut diperkuat oleh
Purnomosidhi (2006) yang menyatakan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan
rendahnya daya saing antara lain rendahnya produktivitas sumber daya manusia (Human Capital) Indonesia,
sehingga dapat dikatakan bahwa sumber daya manusia Indonesia masih kurang mampu
berkompetisi ditingkat global karena lemahnya penguasaan dan penerapan
teknologi. Dengan lebih memberdayakan intellectual capital yang diwujudkan dalam aktivitas inovatif,
diharapkan mampu melakukan diferensiasi produk yang didasarkan pada pemberian unique value pada
pelanggan guna meningkatkan daya saing ditingkat global.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan
argumentasi-argumentasi yang dijelaskan di atas, maka penelitian ini merumuskan
pertanyaan yang meliputi: Apakah ukuran perusahaan, konsentrasi kepemilikan, komisaris
independen, umur perusahaan, leverage
dan length of listing mempengaruhi
pengungkapan sukarela intellectual capital
pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI)?
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk menginvestigasi apakah
ukuran
perusahaan, konsentrasi kepemilikan, komisaris independen, umur perusahaan, leverage dan length of listing mempengaruhi pengungkapan sukarela intellectual capital pada perusahaan
manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI).
1.3.2
Manfaat Penelitian
- Manfaat teoritis:
Untuk pengembangan
teori tentang faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pengungkapan sukarela intellectual capital pada perusahaan
manufaktur yang terdaftar di Indonesia.
- Manfaat praktis:
A. Bagi investor,
penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam pengambilan
keputusan investasi.
B. Bagi kreditor,
penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam pengambilan
keputusan pemberian kredit.
C. Bagi perusahaan, penelitian ini diharapkan memberi
masukan tentang pentingnya pengungkapan
sukarela intellectual capital dalam
laporan tahunan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar